Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Configure your calendar archive widget - Edit archive widget - Flat List - Newest first - Choose any Month/Year Format

Tamu Wisuda dan Harapan Wisuda



Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagi senior-senior di jurusan Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) IPB karena  akhirnya mereka sampai pada tahap akhir sebuah perjalanan program pendidikan doktor yaitu wisuda. Terlihat kebahagiaan itu ketika 4 orang Doktor itu memberikan sambutan satu-persatu di hadapan para dosen, mahasiswa PWD dan tentunya keluarga besar masing-masing mereka yang hadir.

Hadir dan mendengarkan sambutan satu persatu dari para wisudawan adalah keuntungan bagi saya. Untaian kata yang mengalir dari ke-empat orang itu menceritakan suka duka perjalanan mereka selama 5 tahun. Yah sejak tahun 2008 mereka bertemu dan belajar merajut asa yang sama di tempat yang sama. Dosen-dosen yang hadir mengakui bahwa senior-senior ini memiliki social capital yang sangat tinggi. Mereka kompak dan tidak pernah komplain ketika diajak praktek lapangan kemanapun oleh dosen yang bersangkutan.

Dalam sambutan mereka menyampaikan bahwa dengan adanya social capital yang kuat diantara mereka, berdampak positif bahwa mereka tidak yakin jika mereka tidak lulus. Kekompakan dan kebersamaan yang terjadi diantara mereka adalah selalu melakukan diskusi kelompok, bahkan iuran untuk kepentingan belajar. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa tempat belajar bukan hanya di kampus, akan tetapi di cafe maupun warung pojok. Satu diantara mereka adalah seorang Ibu, dia bercerita ketika menjelang Ujian Kualifikasi (Prelim), beliau melahirkan. Dengan senang hati teman-temannya yang lain datang dan belajar di rumah Ibu tersebut. Bangga dan bahagia mendengarkan kekompakan seperti itu.

Dalam sesi photo bersama, sebuah do'a saya panjatkan penuh harap agar saya dan teman-teman 2013 mendapatkan kesempatan yang sama seperti mereka. Yah berharap wisuda bersama-sama namun sedikit dipercepat, supaya jangan sampai hitungan 5 tahun. Jika 3 tahun terlalu cepat, yah 4 tahun saja saya sudah bersyukur. Karena saya belum mendapat informasi ada senior di jurusan ini yang mampu menyelesaikan studinya dalam hitungan 4 tahun. Cukup menantang juga :-)

Jauh dari keluarga, menikmati rutinitas perkulihan, tertawa bersama saat mengerjakan tugas-tugas dan pusing tujuh keliling saat memahami cacing-cacing adalah aroma yang ada di perjalanan ini. Semoga sehat selalu dan mampu menyelesaikan amanah ini dengan baik.


Kata Kunci: Kompak

Dramaga, Bogor 20 Nov 2013:17.24







  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

"Gila" Kata Siapa?

Hampir setiap sore kota Bogor hujan, mungkin itulah banyak orang menyebutnya sebagai kota hujan. Sore itu sekitar pukul 17.00 sepulang dari kampus, saya mampir di sebuah toko buah. Saat sedang memperhatikan dan memilih buah yang akan dibeli, tiba-tiba perhatian saya beralih kepada seorang perempuan (kira-kira berumur 40 tahunan). Saya pikir dia akan membeli buah juga, dengan gayanya memegang beberapa buah kiwi. Namun, seorang pelayan dengan nama seperti mengusir ayam (hus...hus...hus) dan mendekati perempuan itu kemudian melarang untuk menyentuh buah-buah tersebut. Akhirnya perempuan itu pergi tanpa membeli dan membawa satu buahpun.

Seperti halnya saya yang mampir dan membeli buah, itu karena ingin memakannya. Perempuan itu tadi pasti punya harapan yang sama, yaitu ingin makan buah. Sebenarnya apa yang membedakan saya dan perempuan itu? mungkin kah gaya rambut? tentu berbeda, dia mempunyai potongan rambut pendek seperti laki-laki sementara saya memakai jilbab. Mungkinkah pakaian kami berbeda? tentuntu berbeda, saya memakai kemaja lengan panjang dan celana dasar panjang, sementara dia memakai baju kaos oblong dan celana hawai dibawah lutut. Hal yang berbeda lainnya adalah dimulutnya ada sebatang rokok yang belum dinyalakan, sementara saya tidak merokok.

Sebenarnya tidak ada yang aneh dari penampilan perempuan itu, seperti kebanyakan perempuan lainnya. Ada satu hal yang baru saya tahu bahwa perempuan itu "gila". pelayan tadi mengusirnya karena khawatir mengganggu.

Dua hari berlalu...

Pagi hari ketika saya akan berangkat ke kampus, melewati jalan biasanyanya (Jl. Raya Dramaga). Dari kejauhan saya melihat perempuan yang pernah saya lihat di toko buah dua hari yang lalu. Yah, saya mengenal raut wajahnya. Ciri khas yang sama yaitu sebatang rokong yang belum dihidupkan ada di antara bibirnya. Sembari terus berjalan, terus saya perhatikan olah tingkahnya. Dia hanya duduk di sudut halaman toko yang belum dibuka oleh pemiliknya. Dalam hati saya berkata "mungkin benar perempuan itu gila".

Tiba-tiba dari arah yang sama di seberang sana ada seorang laki-laki yang berjalan mendekati perempuan tersebut. Laki-laki menggunakan baju kaos oblong warna hitam lusuh, dan beberapa bagiannya sudah sobek. Begitupun dengan celana panjang coklat yang dia gunakan, kanan-kirinya cobek dan kotor. Rambutnya yang panjang terikat menggumpal. Laki-laki itu menjinjing 3 pelastik hitam yang lumayan besar yang tidak tahu isinya apa. Kakinya tanpa alas, terus melangkah mendekati perempuan tadi.

Sementara saya berjalan semakin dekat dan dekat dengan mereka namun kami berseberangan. Saya melihat perempuan itu menegur laki-laki tersebut, namun laki-laki itu hanya diam. Kemudian perempuan itu menegur lagi, namun tetap laki-laki itu diam. Perempuan itu lalu mengambil sebatang rokok dari mulutnya kemudain menjulurkan (memberikan) kepada laki-laki itu.

Dari seberang jalan saya berdiri memperhatikan mereka dan bertanya dalam hati (Apakah mereka saling kenal?, sepertinya tidak). Sayang sekali saya tidak pegang kamera, dan hand phone pun tidak bisa mendokumentasikan kejadian itu. Perempuan yang masih terduduk itu memberikan rokoknya, sementara laki-laki itu mendekat dan menunduk ke arah perempuan itu. Wah saya ingin tahu sebenarnya apa yang sedang meraka ucapkan/kamunikasikan.

Namun karena saya harus segara sampai di kampus, saya tinggalkan pemandangan itu. Sepanjang jalan saya masih saja memikirkan olah tingkah mereka berdua yang membuat saya penasaran. Sampai-sampai saya harus mengakui bahwa mereka "tidak gila" sebagaimana yang dilabelkan oleh orang-orang yang melihatnya. Yah mereka tidakgila, mereka bisa berkomunikasi dengan baik. Mereka mempunyai hati yang baik antara satu dan lainnya.

Seandainya saya seorang perempuan yang merokok, dan tak seorangpun yang mengatakan/melabelkan kepada saya "gila". Apakah saya akan memberikan sebatang rokok yang saya punya kepada teman saya? belum tentu. Sementara perempuan itu, yang dianggap gila namun ia mau memberikan sebatang rokoknya kepada laki-laki yang dianggap gila.

Oh tidak, ini adalah sebuah kesalahan. Sungguh menghawatirkan, jangan-jangan orang sehat yang mengatakan orang lain gila itu adalah dia yang sedang gila. Kesehatan, kebersihan, kerapihan, kelincahan berbahasa, kecerdikan berpikir justru menganggap orang yang kumuh, kotor, dekil, pakai baju sobek sana-sobek sini, rambut panjang meringkal tak terurus, bau, adalah gila . Dalam penampilan yang gila, mereka mempunyai hati yang sehat.

Jika mereka memilih jalan sebagai rumah mereka, berjalan sepanjang hari. Tidur di jalan, meminta makanan dari warung ke warung, atau mengais sampah mencari makan. Itu semua bukan berarti mereka gila. Ternyata mereka memiliki hati yang tulus, terhadap sesama mereka. Mereka mampu berkomunikasi dua arah, layaknya kita.

Siapkah yang pertama kali melabelkan "gila" kepada orang-orang gila?. Saya jadi teringat kepada seorang perempuan gila di sekitar pasar Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara. Semenjak saya SD sampai sekarang perempuan itu terkenal dengan sebuatan nama "Minul Gila". Kesehariannya hanya duduk di pinggiran jalan, dengan menggunakan sarung dan kaos oblong yang lusuh dan kotor. Rambutnya yang panjang dan tebal nampak seperti sanggul karena kotor tidak pernah dicuci. Namun ironisnya, si Minul juga hamil. Siapakah orang yang menghamili Minul? ternyata dia adalah orang sehat fisiknya tapi lebih-lebih gila jiwanya. Masih banyak lagi orang-orang sehat di dunia ini yang memiliki hati dan jiwa yang gila, namun sayangnya dia tidak menyadari kegilaanya.

Dramaga Bogor, 12:28






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jangan Putus Sekolah ya Sayang

Dialah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 7 tahun harus putus sekolah. Muhammad Riski Ramadan adalah anak dari seorang buruh tani bernama Mayunis dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Sudah sering kali mendengar berita anak-anak putus sekolah lantaran ketidakmampuan orang tuanya membiayayi sekolah anaknya. Apalagi di daerah-daerah yang mayoritas pendapatan hanya sebagai buruh tani.

Ada yang lain dari kebanyakan kasus putus sekolah yag dialami oleh Riski. Berita yang diterbitkan oleh Oke Zone ini (lengkapnya klik disini), menggelitik hati saya untuk menyampaikan sesuatu dalam tulisan ini. Dengan hasil yang pas-pasan sebenarnya pak Mayunis masih mampu menyekolahkan anaknya, setidaknya sampai selesai Sekolah SD. Namun yang menjadi persoalan adalah Riski putus sekolah lantaran karena tingkat kecerdasannya yang melebihi teman-teman seusianya. Bahkan bisa dikatakan mengalahkan usia 20 tahun kebanyakan anak Indonesia. Riski sudah menguasai beberapa bahasa asing (Inggris, India, Mandarin dan Malaysia) diusia belianya. Maaf, saya saja tidak secerdas Riski.

Kelebihan yang dimiliki Riski justru menjauhkan dirinya dari dunia kanak-kanaknya. Sebagaimana kita ketahui usia Sekolah Dasar adalah masa dimana anak-anak memupuk kecerdasan sosialnya melalui interaksi dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dan menjalin komunikasi yang sehat kepada usia yang lebih tua darinya yaitu guru-guru di lingkungan sekolah. Namun Riski hanya 6 bulan sekolah di SD Negeri Cangkiang. Karena karakter Riski yang tidak mau belajar dengan sistem yang mengulang-ngulang, sehingga membuat dia tidak nyaman dikelas. Keadaan ini dinilai mengganggu proses belajar mengajar siswa-siswi yang lain oleh gurunya. Sehingga Riski dikeluarkan dari sekolahnya dan disarankan untuk sekolah khusus oleh gurunya.


Tidak ada yang salah dengan tindakan pihak sekolah tersebut, karena itu merupakan tindakan jangka pendek dan bersifat makro demi siswa-siswi yang lain. Menurut saya, seandainya anak-anak di tanah air ini seperti Riski justru akan sangat membantu kerja-kerja para guru SD. Tidak lagi kita temui guru berteriak-teriak memanggil muridnya yang malas belajar dan justru hanya ingin bermain saja. Tidak ada lagi guru yang kesal karena muridnya belum memahami apa yang disampaikan, padahal sudah berulang kali. Dan tidak akan ada lagi kasus guru dilaporkan ke kepolisian oleh orangtua muridnya dikarenakan mencubit muridnya yang nakal (kasus di Kabupaten Waykanan-Lampung, lihat disini). Ditingkat yang lebih makro, para perencana pendidikan Indonesia ini tidak perlu lagi mengganti kurikulum disetiap musimnya.

Riski adalah salah satu mutiara yang ada di Indonesia, namun kenapa karena kelangkaannya justru dianggap sebagai kendala bagi mayoritas?. Ada baiknya sebagai pihak sekolah guru dan kepala sekolah yang lebih dekat dengan Riski (bersama orang tua tentunya) mengkomunikasikan keadaan ini kepada Dinas Pendidikan setempat untuk memberikan alternatif belajar di sekolah bagi seorang Riski. Bersamaan dengan itu pula, komunikasi dapat ditingkatkan kepada stakeholder pendidikan yang lebih luas (provinsi atau bahkan negara) agar kasus serupa yang terulang di waktu dan tempat yang berbeda menjadi perhatian yang bijak.

Jangan katakan bahwa ini sulit karena sistem pendidikan kita memang tidak mengatur kelangkaan kecerdasan seperti yang dialami Riski !. Dan jangan katakan pula tidak ada alokasi dana untuk membuat seorang generasi bangsa seperti Riski untuk dapat terus belajar!.

Sudah selayaknya Riski dan mutiara bangsa lainnya mendapat haknya dengan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Jika memang dibutuhkan seorang ahli pendidikan khusus untuk perkembangan akademik Riski, mengapa tidak? Negara bisa membayar ahli pendidikan tersebut. Namun menjadi catatan adalah kecerdasan sosial Riski pun adalah suatu hal penting, yaitu lingkungan pertemanannya.  Agar Riski dapat menjadi pemimpin yang tidak hanya cerdas dalam ilmu pengetahuan namun bijak terhadap lingkungan disekitarnya. (Asnani)

Dramaga, Bogor 08-11-2013


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Catatan Kongres XI Forum Wacana IPB 2013








Subuah SMS masuk dari seorang teman yang meminta tolong untuk mengecek surat permohonan pengrimiman delegasi Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) di ruang sekretariat PWD. Kemudian saya balas SMS itu bahwa saya akan mengeceknya besok. Namun tak berapa lama kemudian saya langsung saja mengirim SMS kepada pengelola prodi prihal surat tersebut, ternyata surat sudah masuk pada tanggal 15 Oktober 2013.

Keesokannya saya mampir ke prodi dan  membaca surat tersebut beserta lampiran2nya (Surat Delegasi Kongres (Form A), Perubahan surat delegasi kongres (Form B), jadwal acara, Formulir bakal calon ketua umum Forum Wacana IPB, daftar peserta penuh kongres XI Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB 2013 dan beberapa dokumen Rancangan Ketetapan). Pengelola prodi mengatakan bahwa: "siapa saja yang akan menjadi delegasi diserahkan sepenuhnya kepada mahasiswa". Oleh karena itu saya inisiatif untuk membawa surat itu beserta dokumennya untuk saya umumkan kepada teman2 baik S2 maupun S3 (kebetulan saya akan bertemu mereka pada perkuliahan Makro Ekonomi).

Dari 5 Kuota yang didapat oleh PWD, saya hanya berhasil menjaring 3 orang (termasuk saya) untuk menjadi peserta delegasi tersebut. Sementara temn-teman yang lain tidak tertarik untuk mengikutinya dengan berbagai alasan, diantaranya: menjelang UTS, khawatir  kedepannya akan diminta jadi kordinator acara ini dan itu. Baiklah, itu adalah hak mereka dan saya harus bersyukur setidaknya ada teman (Idealisme masih tinggi nich). Selanjutnya saya langsung meminta tanda tangan dari ketua prodi sebelum diserahkan kepada panitia. Prodi menanyakan mengapa hanya tiga orang? coba hubungi kakak tingkat 2012 !. Oleh staf disana saya diberikan no hp salah seorang kakak tingkat, kemudian saya hubungi berkaitan dengan delegasi tersebut. Ternyata beliaupun tidak tertarik. Tidak lupa saya berpesan bahwa jika ada teman-teman yang lain ingin ikuti, masih ada kesempatan perubahan delegasi sampai tanggal 25 Oktober. Beliau itu cuma bilang "terimakasih".

Hari itu saya putuskan untuk memasuki nama 3 orang tersebut untuk mengikuti kongres pada tanggal 26 Oktober karena hari itu (24 Okt) adalah hari terakhir pendaftaran. *Masih mengikuti prosedur yang berlaku#

Acara kongres XI ini dilaksanakan di Gd. Sylva Pertamina Fakultas Kehutanan dimulai pukul 08.00-18.00 sesuai jadwal yang terlampir. Dengan pakaian yang rapi, dan bersepatu saya dengan senang hati menuju lokasi dan tiba disana sebelum jam 08.00. Kemudian saya registrasi  jam 08.00 kemudian memilih tempat duduk yang nyaman. Panitia nampak siap dengan tugasnya masing-masing, namun yang menjadi pertanyaan saya? mengapa diawal ini panitia di dominasi oleh kaum adam? hanya ada 2 panitia perempuan yang terlihat (notulen dan yang akan memimpin menyanyi Indonesia Raya). Baiklah, mungkin yang lain belum datang.

Jujur baru kali ini saya mengikuti acara yang benar-benar on time acara dimulai pukul 09.00 (dalam hati mulai simpati dengan cara kerja para panitia). Semua kursi yang tersedia penuh, namun saya lupa jelasnya berapa jumlah peserta yang hadir. Pada sambutan ketua umum bahwa kongres ini adalah kongres terbesar sepanjang sejarah. Artinya jumlah pesertanya sangat banyak. Tentu saja karena mahasiswa baru IPB pada tahun ini meningkat drastis, jadi ini adalah sebuah kewajaran dan bukan sebuah prestasi.

Masuklah pada sesi Sidang Pendahuluan yang membahas jadwal acara, tatatertib kongress, dan pemilihan pesidium sidang yang di fasilitasi oleh SC. Tidak ada masalah dengan jadwal dan forum sepakat jam 18.00 selesai. Sidang mulai menunjukkan reaksi ketika membahas tata tertib sidang perihal peserta kongres. Peserta kongres terdiri dari peserta penuh dan peserta peninjau. Peserta penuh merupakan perwakilan prodi (termasuk saya nich) yang memiliki hak bicara dan suara. Sementara peserta peninjau adalah utusan dari organisasi pascasarjana lingkup IPB dan Forum Wacana Daerah, merka hanya memiliki hak bicara namun tidak memiliki hak suara.

Sidang mulai panas ketika ada beberapa orang di luar ruangan datang membawa surat delegasi dari prodi, namun oleh panitia tidak diperbolehkan karena telah melewati batas waktu yang telah ditetapkan. Alasan para teman-teman yang baru datang ini adalah karena sebelumnya mereka tidak mengetahui acara tersebut dan tidak sampainya undangan Forum Wacana ke prodi mereka. Wahhh beberapa peserta kongres mulai mencari-cari kesalahan panitia nich, dengan meminta menunjukkan surat/bukti bahwa panitia telah menyampaikan surat ke prodi.

Saya masih menjadi pengamat yang setia, suara-suara keras mulai terdengar sahut menyahut. Beberapa tangan yang gemetar saling tunjuk menunjuk dan beberapa orang mulai tidak lagi duduk manis ditempatnya bahkan sudah berjalan di koridor ruangan sambil mengayun ayunkan microphone. Bahkan ada juga peserta perempuan di belakang saya berkata"pimpinan sidang!, pimpinan sidang!" berulang-ulang. Saya tahu mereka meminta waktu untuk berbicara. Namun suara mereka tidak didengar lagi-lagi yang punya kesempatan bisacara adalah peserta laki-laki. *Hati saya mulai gelisah nich#

Saya hanya mencatat komentar saya dalam hati bahwa kongres ini level pascasarjana loh, di dalamnya ada calon master dan doctor. Saya melihat panitia sudah bekerja maksimal mengapa teman-teman yang baru datang begitu manja sehingga keterlambatan mereka harus dimaklumi dan masih saja memaksa untuk masuk mengikuti kongres. Mengapa pula ada beberapa teman di dalam forum harus sebegitu kerasnya memperjuangkan mereka masuk dengan mengabaikan substansi dari kongres tersebut?. Sampai-sampai SK secagai SCpun harus dipertanyakan dan mengatakan bahwa SK itu sakral? yah mungkin itulah wujud kekritisan mereka. Sementara peserta perempuan hanya bisa berkomentar dengan teman disampingnya menambah hiruk pikuk ruangan tersebut (termasuk saya).

Ada satu perhatian saya saat itu yaitu dua orang notulensi (laki-laki dan perempuan) justru sibuk sendiri ngobrol, mereka tidak mencatat sanggahan, saran, informasi, atau yang lainnya. Melihat itu saya merasa kasihan dengan teman-teman yang sudah saling otot-ototkan memperjuangkan pendapatnya. Olehkarena itu saya berdiri dan mengacungkan tangan mohon bicara kepada pimpinan sidang (Lagi-lagi gagal). Lalu saya inisiatif menghampiri notulen itu dan mengatakan bahwa: "perubahan redaksional yang tadi belum dicatat, ini adalah dokumentasi yang sangat penting!". Mereka hanya bilang: "sudah mba!". Tapi kenyataanya di slide tidak ada perubahan apa-apa. (Bagaimana ini)

Ketika Ishoma tiba, panitia mengumumkan silahkan untuk mengambil makan siang dengan menunjukkan name tag. Kemudian saya bercanda dengan teman-teman disekitar saya: "name tag ini yang sakral, karena tanpa ini kita tidak dapat makan siang. Kalau SK SC tidak begitu sakral!...serentak teman-teman tertawa dan kami menikmati makan siang itu bersama.

Selanjutnya ketika pemilihan pimpinan sidang, terpilihlah satu orang keterwakilan perempuan. Sidang Pleno 1 dengan pembahasan laporan pengurus Forum WacanaIPB periode 2012/2013 yang disampaikan oleh Ketua Umum Syamsu Rizal, S.Hut, SMi. Saya sendiri memberikan apresiasi kepada pengurus ini karena dalam waktu setahun bisa merealisasikan 32 kegiatan. Sebelumnya laporan tertulis saya terima ketika registrasi, jadi sebelum ketua umum mebacarakn laporan tersebut, saya sudah membaca semuanya. Catatan kecil saya adalah: standar laporan yang menjelaskan nama kegiatan, tema, tempat, waktu, tujuan, hasil yang dicapai, jumlah peserta yang mengikuti, sumber dana dan kegunaannya belum lengkap. Ternyata yang catatan kecil ini ada juga yang mempertanyakan kepada ketua umum namun dengan cara yang berbeda "ini seperti laran anak SD, laporan yang sangat konyol sekali!". Saya cuma bilang: Wow keren mahasiswa pascasarjana loh ngomongnya begitu. Sampai-sampai ketua umum menanggapi: "Sebenarnya saya tidak tahu laporan yang konyol itu seperti apa".

Setiap manusia, organisasi, episode pastilah punya kekurangan dan kelebihannya. Kita sebagai teman patutlah kita memberi apresiasi walapun kita harus juga memberikan refleksi mana yang sudah baik dan mana yang perlu diperbaiki. Saya pikir tidak perlu sampai berteriak-teriak mengeluarkan emosi sebegitunya. Apakah Mubes/Kongres itu tidak sempurna jika tidak ada nuansa sarkasme dan anarkisme nya???
Sampailah pada Sidang pleno ke 2 pembahasan AD/ART Forum Wacana IPB periode 2013-2014 dan rekomendasi organisasi Forum Wacana IPB. Semua berjalan dengan lancar walaupun terkadang muncul emosi-emosi yang tidak terkendali, biasanya berakhir pada komentar sang wasit persidangan yaitu ketua umum. Namun pada tahap ini ada satu kejadian yang membuat semua forum emosi, sampai pimpinan sidang akan diturunkan. Tanda-tanda ini sudah saya bisikkan kepada teman disamping saya:"pimpinan sidang yang perempuan hanya jadi pajangan". Karena semenjak dia ditetapkan menjadi pimpinan sidang belum pernah terdengar suaranya padahal sidang pleno 2 hampir selesai dan waktu menunjukkan sudah jam 17.00. Benar saja, saya yang duduk di depan dengan jelas melihat pimpinan sidang yang perempuan menggendong tasnya yang berwarna hitam keluar melalui tirai belakang panggung. Saat ini masih hangatnya membahas ART. Kepergian pimpinan sidang perempuan itu tanpa ada persetujuan forum, sepertinya tak banyak yang tahu kepergian pimpinan sidang itu atau mereka belum sadar ya kalau pimpinan sidangnya hilang satu.
Seseorang peserta laki-laki dibelakang sadar dan menanyakan "mengapa pimpinan sidang perempuan tidak pernah bertugas?, siapa tahu ruangan ini lebih fresh jika perempuan yang memimpin sidang. Dimanakah pimpinan sidang satunya?"......hahahaha keadaan lebih heboh dan sidang di skor 2x10 menit karena dua pimpinan sidang laki-laki berdiskusi dan berusaha menghadirkan pimpinan sidang yang perempuan. setelah itu skor dicabut, dan belum juga menghadirkan pimpinan sidang 3 (perempuan), sementara pimpinan sidang 1 dan 2 (laki-laki) bergaya tegas dengan melanjutkan persidangan. Keanehan mulai terbaca, karena suara peserta forum pecah antara sebagian besar peserta penuh dan peserta peninjau. Peserta penuh mengharapkan sidang dilanjutkan dengan alasan waktu dan peserta peninjau tidak bisa melanjutkan sebelum menghadirkan pimpinan sidang 3. Saya sebagai peserta penuh setuju dengan peninjau. Teman disamping saya berkata "pimpinan sidang 1 dan 2 adalah titipan, saya menyesal tadi kenapa mengundurkan diri menjadi pimpinan sidang kalau ternyata begini". Wah kebenaran titip menitip ini tidak bisa dibuktikan ya teman. Tapi menurut logika saya, memang ada yang aneh kenapa pimpinan sidang 3 tidak pernah diberikan kesempatan memimpin sidang. Sampai Pimpinan sidang 3 pun sudah hadir, masih saja pimpinan sidang 1 dan 2 memaksa melanjutkan persidangan. Padahal peserta forum meminta klarifikasi mengapa beliau meninggalkan tempat saat sidang berlangsung. Ada yang benar-benar lucu ketika pimpinan sidang ingin klarifikasi dia meminta palu sidang diberikan kepadanya terlebih dahulu. Serentak peserta forum ada yang tertawa, mengejek dan ada pula yang menjelaskan bahwa untuk sekedar klarifikasi tidak perlu serah terima palu. Terdengar disekitar saya "nanti mbanya dibelikan palu dech".

Akhirnya pimpinan sidang 3 klarifikasi, dia meninggalkan persidangan karena beberapa kali dia meminta agar dia ditugaskan menjadi pimpinan sidang namun pimpinan sidang 1 tidak mendengarkan permintaannya. Dia merasa tidak mempunyai peran apa-apa dipanggung persidangan, padahal dia dipilih secara aklamasi sebagai pimpinan sidang perwakilan perempuan. Dengan emosi dan suara menahan tangis dan raut wajah yang merah marah dia menjelaskan "saya minta maaf semoga dengan tindakan saya ini menjadi pencerahan kita semua bahwa perempuan harus dilibatkan". Wahhhhh saya salut dengan pimpinan sidang 3 ini, dia berani mengambil tindakan yang berpengaruh demi prinsip. Bayangkan saja dengan ulah pimpinan sidang 3 ini waktu persidangan molor 3 jam. Namun bagi saya it's ok karena kejadian ini adalah tamparan bagi para peserta kongres level pascasarjana bahwa kesetaraan gender sangat mudah dalam teori dan begitu berat dan aplikasinya. Apakah pimpinan sidang 1 dan 2 akan merasa jatuh harga dirinya ketika pimpinan sidang 3 yang memimpin?

Keadaan kembali mematikan dengan cepat sel-sel dalam tubuh ketika gelombang emosi peserta kongres datang seperti tsunami. Setelah pimpinan sidang 3 sudah klarifikasi persidangan dilanjutkan, namun beberapa kali peserta kongres meminta palu persidangan diserahkan kepada pimpinan sidang 3. Namun permintaan itu tidak diindahkan oleh pimpinan sidang 1 dan 2. Sampai orang-orang yang gerah dengan pimpinan sidang 1 maju kearah panggung persidangan dan akan menurunkan secara paksa pimpinan sidang 1, namun saat itu juga orang-rang yang pro kepada pimpinan sidang 1 maju menghalangi sampai terjadi dorong mendorong dan relai melerai. Lagi-lagi diakhiri dengan komentar wasit kongres yaitu ketua umum.

Setelah beberapa peserta memberikan pendapat tentang pergantian palu sidang, dan pimpinan sidang 1 dan 2 merasa terdesa maka palu persidangan diserahkan kepada pimpinan sidang 3. Setelah saya dengarkan cara pimpinan sidang 3 memimpin sidang, ternyata perempuan juga bisa tidak kalah dengan laki-laki. Begitu tidak mudahnya menjatuhkan egoisme seorang laki-laki demi sebuah palu kepada perempuan padahal secara aturan sudah jelas bahwa perempuan tersebut hanya meminta haknya.

Sampai pukul 24.00 saya masih bertahan, berharap saya bisa memberikan hak suara saya kepada salah satu calon ketua umum Forum Wacana 2013/2014. Yahhhh inilah upaya saya menjadi peserta kongres yang baik, berharap mendapat sebuah pembelajaran untuk Indonesia mendatang. Padahal seperti yang saya sampaikan didepan bahwa kongres ini hanya sampai pukul 18.00. Demi sebuah kesempurnaan dan keidealan sebuah kongres seluruh peserta sepakat melanjutkan kongres walaupun konsekuensinya tidak mendapatkan malam ataupun snack tambahan. Wahhh saya bangga dengan teman-teman peserta kongres ini.

Namun ada sebuah kejadian yang telah menggilas jiwa-jiwa para peserta kongres yang mengharapkan keidealan dan kesempurnaan kongres tadi. Apakah itu??

Ketika memasuki tahap pemilihan calon ketua umum, diumumkan ada 6 orang yang telah terjaring sebagai bakal calon. Keenamnya dipanggil dan dipersilahkan duduk di koridor depan ruang kongres di kursi yang telah disediakan panitia. Namun sekitar 20 menit dengan berbagai dinamika di dalamnya, peserta harus menunggu 3 orang bakal calon yang belum hadir di ruangan tersebut. Dalam hati saya mencatat: pertama ketiga bakal calon yang belum hadir tidak mempunyai niat yang kuat, jadi tidak lebih baik dipilih. kedua mereka sebagai calon ketua umum yang jika terpilih akan melayani ribuan mahasiswa pascasarjana, jika belum terpilih saja, kita sudah harus menunggu mereka. ketiga saya meyakinkan hati bahwa satu suara suara saya akan saya berikan kepada mereka yang memang sudah siap di depan.

Setelah ditunggu beberapa lama semua calon muncul dan menyampaikan visi misi mereka di podium. Ketika panitia menyiapkan alur dan teknis pemungutan suara, tiba-tiba 4 orang calon mengundurkan diri dan menyerahkan suara mereka kepada salah satu calon yang mereka tunjuk. Hal ini otomatis penggiringan suara para pendukung calon yang mengundurkan diri kepada calon yang mereka tunjuk.

How can it be???
Untuk para pemain di dalam kongres ini saya ingin menyampaikan bahwa apakah kalian tidak memperhitungkan social cost yang sudah kami (peserta kongres) keluarkan demi kongres ini. Ada ibu-ibu yang meninggalkan empat orang anaknya, ada ibu hamil 7 bulan, ada puluhan orang yang meniadakan tidur siang di hari Sabtu, ada puluhan orang yang menunda tidur malamnya, ada ratusan mahasiswa yang mengalihkan waktunya selama 16 jam dari belajar menjelang UTS, ada ratusan manusia menunda makan malamnya sampai jam 00.00  SEMUA DEMI KESEMPURNAAN KONGRES.


Kalian para calon ketua umum yang mengundurkan diri setelah visi misi, mengapa kompak melakukan hal yang sama? mengapa tidak mengundurkan diri ketika dipodium? mengapa kami harus menunggu kehadiran kalian dengan dinamika emosi ternyata kalian mengundurkan diri? mengapa kalian tidak terlihat gagah dan berwibawa dengan menyerahkan suara kalian kepada 2 orang yang tertinggal? kenapa permainan kalian begitu mudah sekali ditebak dan merugikan banyak orang?

Oleh karena itu saya menjadi peserta penuh yang pertama kali menyatakan GOLPUT di atas panggung persidangan. Dengan fisik lelah dan hati yang begitu perih saya tinggalkan ruang kongress level pascasarjana IPB pada pertengahan malam (pukul 00.00). Dengan tenaga yang tersisa saya langkahkan kaki di remang-remang kampus yang katanya 5 besar di Indonesia ini. Diperjalanan ke kostan yang sekitar 500 meter, saya bertemu 3 kelompok pemuda yang duduk berkumpul di luar pagar kampus dengan dihiasi botol minuman dan cantiknya hembusan asap rokok, disalah satu kelompok itu ada seorang perempuan berambut panjang menggunakan hotpans hitam dan tanktop putih.

Sepuluh (10) tahun kedepan, yakinlah generasi dalam kongres ini yang akan memimpin Indonesia. Dan malam ini saya sudah dapat melihat miniatur dinamika politik yang akan terjadi nanti. Sukarno, seandainya engkau masih hidup saya akan berusaha datang padamu untuk menyampaikan tulisan ini, dan inilah potret pemuda generasi di bawah mu. Asnani

Dramaga, Bogor 27 Oktober 2013

note: tulisan ini tidak diberikan photo karena keterbatasan gadget saya



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Korupsi, Pemiskinan Simiskin




Kelangkaan
Beberapa buku ekonomi dasar terdokumentasi bahwa masalah ekonomi itu adalah kelangkaan (scarcity). Dari beberapa referensi ekonomi berikut (Sadono sukirno, Walter Nicholson dan Olivier Blanchard) mengatakan kelangkaan itu disebabkan tidak seimbangnya antara keinginan/hasrat manusia akan kebutuhan barang dan jasa, sementara ketersediaan barang dan jasa itu terbatas. Kepuasan manusia tidak terbatas, seperti analogi pada sebuah iklan coklat dengan slogannya "lagi-lagi dan lagi". Hal ini bermakna bahwa coklat itu enak, tentu saja membuat hasrat penikmatnya bertambah, oleh karena itu mereka akan terangsang untuk menambah coklat tersebut. Itulah kepuasan manusia, tidak akan habis keinginannya sampai dia mati. Bahkan (maaf) ada sebagian orang, sebelum matipun masih sempat memikirkan/mengatur harta kekayaannya. Tujuannya agar ia dapat meninggalkan dunia dengan tenang (bagian dari kepuasan). Sampai saat ini belum ada formula untuk membatasi kepuasan manusia.

Faktor-faktor produksi yang tersedia dikatakan terbatas, karena mereka harus dibayar. Misal sebuah perusahaan butuh gudang, mesin, tenaga kerja, dan bahan baku untuk menciptakan sebuah barang. Kesemua faktor produksi itu di dapat dengan membayar kepada pemiliknya baik dalam bentuk membeli atau sewa. Sementara seorang produsen memiliki prinsip dengan modal serendah-rendah nya harus mendapatkan laba setinggi-tingginya. Jika tidak, maka dia akan merugi dan ini akan berdampak pada keberlangsungan produksi barang tersebut.

Namun berdasarkan pengamatan nakal saya, teori tersebut kurang tepat untuk kondisi kehidupan kita saat ini. Pertama kepuasan manusia tidak lagi berdasarkan untuk memenuhi kebutuhan barang/jasa dalam hidupnya. Melainkan lebih dari itu, yaitu menumpuk kekayaan baik berupa uang, dokumen berharga, maupun investasi lainnya. Tentunya penumpukan harta kekayaan terjadi setelah keinginan akan barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi. Kedua faktor produksi itu tidak terbatas  namun tersedia di alam semesta, dan akan mencukupi untuk kebutuhan hidup manusia. Namun sayangnya faktor produsksi ini menjadi bahan rebutan bagi manusia. Misalkan tersedia sepuluh roti untuk 5 orang. Jika hidup ini teratur dan tidak haus atas kepuasan, maka cukuplah roti tersebut untuk lima orang. Namun kenyataannya, diantara mereka ada yang puasa, ada yang baru saja olahraga keras, dan ada yang baru saja makan makanan lain. Alhasil sepuluh roti tersebut tidak terdistribusi dengan rata jumlahnya.

Kesenjangan

Apakah masalah hidup kita masih sebatas kelangkaan, atau sudah masuk dalam ruang lain yaitu kesenjangan?. Tentu saja keduanya memiliki batasan yang berbeda. Proses kesenjangan itu terjadi sejak manusia mengenal konsep kaya dan miskin. Siapa yang membuat konsep tersebut? mengapa dikatakan kaya ketika seseorang memiliki harta yang lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga kebutuhan hidup itu sendiri memiliki tingkatan yang berbeda-beda (misal kebutuhan transportasi: sepeda, motor, mobil dan pesawat). “Simiskin” berangkat ke sekolah dengan sepeda ontel dan “sikaya” pergi ke sekolah dengan mobil.

Siapa yang tidak ingin kaya? yang tidak ingin adalah mereka yang tidak mengenal konsep kaya dan miskin. Sayangnya di negara ini semua sudah diperkenalkan dengan kosep tersebut  sejak dalam kandungan. Tak jarang ibu hamil  mempersiapkan keperluan baby dengan sangat detail. Barang yang dipersiapkan disesuaikan dengan warna, kualitas (nyaman untuk baby), jumlah, dan tidak lupa merek yang bagus. Walaupun secara logika, kita semua tahu bahwa bayi yang masih dalam kandungan atau yang baru saja lahir belum bisa membedakan mana barang yang bagus dan mana yang tidak. Konsep nyaman diperkenalkan oleh orang tua dan keluarganya. Terkadang dalam pikiran, sudah tercipta konsep nyaman adalah jika komposisi bahan tertentu yang digunakan bahkan merek tertentu. Nah bagi para ibu hamil yang tidak memiliki uang cukup untuk memenuhi keperluan tersebut, maka dari jauh hari si ibu merasa risau dan sedih. Begitu juga ketika anak menginjak dunia sekolah, lihat saja daftar barang yang dibutuhkan untuk sekolah. Semua harus lengkap, kualitas bagus, dan tidak lupa merek terkenal. Jika standar itu tidak terpenuhi, maka merasa dirinya tidak termasuk dalam barisan orang kaya. Demikianlah keluarga mengenalkan kita konsep kaya dan miskin. 

Wajar saja jika kita sangat sering mendengar orang tua mengeluh biaya pendidikan mahal. Menjadi sangat menghawatirkan jika kebutuhan akan kepuasan itu merupakan keharusan. Maka terjadilah perebutan modal di dalam masyarakat kita. Sumberdaya yang tersedia dan mencukupi kebutuhan suatu masyarakat menjadi bahan perebutan. Dalam perebutan kekayaan ini ada kelompok masyarakat yang kuat dan ada yang lemah. Bagi mereka yang kuat maka, orang kaya akan menjadi gelarnya. Namun bagi mereka yang lemah orang miskin menjadi gelarnya. Hadirlah kesenjangan diantara mereka, yang sebenarnya "sikaya" telah memiskinkan "simiskin". Namun kenyataan ini dianggap sebuah kompetisi yang lumbrah dalam kehidupan masyarakat kita. Yang berhasil merebut kekayaan ini lebih banyak dianggap suatu kesuksesan hidup, dikarenakan dalam prosesnya terdapat usaha.  

Demi gelar kaya, "sikaya" melakukan apa saja untuk mencapai hasratnya melalui media yang dia miliki yaitu kekuasaan. Terjadilah kasus korupsi dan suap menyuap yang saya namakan "sikaya" memiskinkan "simiskin". Tidak asing bagi kita mendengar pejabat negara ini korupsi dan suap menyuap dengan jumlah milyaran rupiah. Pertanyaan yang mendasar: "untuk apa uang sebanyak itu?" padahal jasanya sebagai pejabat sudah dibayar oleh rakyat, bahkan tunjangannya lebih besar daripada gaji pokok. Apakah itu tidak cukup untuk menghidupi keluarganya? jawabnya hanya untuk agar dia mendapatkan gelar "kaya" padahal saat itu juga terjadi pemiskinan pihak lain.

Katanya pajak untuk rakyat. Kenyataannya banyak juga pihak yang tidak sepakat dengan konsep tersebut. Banyak juga tunggakan pajak para pengusaha tidak dibayarkan. Jikapun ada yang terbayarkan, bagaimanakah alurnya sampai ke masyarakat? apakah lancar-lancar saja? atau kita dapat memaklumi bahwa dana tersebut mesti mampir ke beberapa meja terlebih dahulu untuk membuat kaya pemilik meja hingga hanya sekedar tetesannya yang jatuh kepada masyarakat. Ini juga saya katakan proses pemiskinan, yang dapat dilakukan oleh siapapun terutama mereka yang berada dikursi kekuasaan. Seperti yang sedang menjadi perbincangan saat ini yaitu kasus ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia beserta timnya. Dimana lembaga hukum ini berani digadaikan demi gelar kaya. 

Asnani,
Kost Putri Dinar, 22 Oktober 2013

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Melewati Tembok Berlin

Wellcome to Bogor...Pada tanggal 27 Agustus 2013 yang lalu adalah untuk pertama kalinya kaki saya menginjak tanah Bogor yang terkenal dengan sebutan kota hujan dan banyaknya angkot (angkutan kota). Perasaan senang datang ke tempat ini namun ada juga takut karena saya belum mengenalnya, apalagi saya datang seorang diri. Yahhh tak apalah, lanjutkan saja menuju kampus tercinta yang akan akrab dengan keseharian saya selama 3 tahun mendatang.

Alangkah kagetnya saya ketika melihat plang nama Institut Pertanian Bogor yang bersebelahan dengan terminal Damri tempat terakhir bus Damri berhenti. Kemudian dengan penasaran saya bertanya dengan penjaga pos terminal dimanakah alamat kampus saya. Setelah satpam itu menjelaskan ternyata kampus Dramaga yang sesuai dengan alamat di surat panggilan registrasi bukanlah yang dekat dengan terminal itu. 

Kampus IPB ada di dua tempat yaitu Baranang Siang (bersebelahan dengan terminal Damri) dan di Dramaga. Alamat kampus yang akan saya tuju adalah IPB Dramaga, setelah bertanya-tanya bagaimana saya bisa kesana, satpam memberi saran agar saya menggunakan angkot. Saya menggunakan angkot menuju kampus Dramaga dengan nomor angkot 05 dan dilanjutkan 03. Ya...di kota ini angkotnya bernomor sesuai dengan rutenya. Soal ongkos sama saja seperti di Bandar Lampung, Rp.3000 sekali perjalanan.

well..diperjalanan saya bertanya-tanya dengan penumpang lain soal lokasi kampus IPB Dramaga, ada yang tau dan ada juga yang tidak tahu.  Seorang penumpang menyarankan saya untuk berhenti di sebuah jalan, yang terkenal dengan nama "tembok berlin". Saya sangat percaya dengan mereka, jadi diturunkan oleh supir di pintu masuk tembok berlin itu . Alangkah kagetnya saya, ternyata pintu berlin yang mereka maksud adalah sesuah pintu alternatif (saya akatan "jalan tikus"). Saya tidak bertanya ke orang mengapa disebut tembok berlin, namun berdasarkan pengamatan bahwa nama itu dikenal karena itu adalah pintu kecil yang sengaja dibuat oleh pihak IPB sebagai jalan pintas, sehingga tidak perlu melalui pintu gerbang pintu depan atau gerbang pintu belakang. 

Sebagaimana tembok Berlin di Jerman terkenal kokoh dan panjang yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman timur. Tembok ini juga dikatakan sebagai tembok proteksi karena membatasi ruang gerak dan berpindahnya penduduk. Tembok Berlin kemudian runtuh diusianya yang ke-30 (1961-1990) dan menjadi simbol reunisasi Jerman.

Sementara Tembok Berlin IPB adalah tembok pembatas area kampus dengan tanah masyarakat umum. pintu Berlin yang dimaksud selain menjadi jalan pintas juga  langsung menghubungkan warga kampus kepada akses pusat perdagangan berbagai kebutuhan warga kampus. Pusat perdagangan dan pemukiman mahasiswa (kost-kosatan) ini disebut Bara. 

Di lokasi ini menjual berbagai jajanan, rumah makan/warteg, toko pakaian, buku, photocopy, sepatu, tas, mini market, pusat komputer dan elektronik lainnya. Suasana di sekitar Bara selalu ramai dimulai pukul 07.00 sampai malam hari. Termasuk saya, walaupun tidak kost di sekitar Bara, selalu mampir di Bara untuk membeli berbagai kebutuhan pribadi maupun kuliah. 

Ketika hari Minggu pagi sampai sekitar jam 11.00 di Daerah ini juga akan menjadi pusat "pasar kaget". Banyak penjual dadakan hadir disini untuk menawarkan berbagai barang dagangan. Sehingga pada hari Minggu pagi akan lebih banyak lagi variasi pilihan barang yang kita inginkan, dengan harga sesuai kantong mahasiswa. Ini sama persis dengan "Sunmor" yang ada di sekitar kampus UGM Jogjakarta.

Selamat berpelesir ke Tembok Berlin***


Kost Putri Dinar, Dramaga-Bogor
23.00, 25 September 2013

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Semesta Membacakan Ukiran Mimpiku

Wahai tanah air ku,
negara tercinta ku
kan kujaga keindahan wajahmu
diantara cantiknya wajah semesta dunia.
(Asnani)

 
Ilustrasi diambil dari http://desmarisme.blogdetik.com/category/ga-penting/


Sama sekali tidak ingat kapankah saya mengukir mimpi untuk melanjutkan study Doktor?, namun yang jelas saat itu ketika saya sedang dalam keadaan terpuruk diantara lembaran-lembaran draft Tesis yang sangat membosankan. Lagu-lagu Adelle dan MLTR yang tak bosan-bosan menemani pagi sebelum mandi, atau malam menjelang tidur bersama panjangnya transkrip penelitian. 

Apakah berbeda hasilnya ketika mimpi itu di ukir disaat sedang duduk santai dipantai sambil menikmati segarnya air buah kelapa muda dan dibandingkan ketika pusing, lelah dan bosan dengan sebuah pekerjaan wajib yang masih terbengkalai??? jawabnya tidak tahu.

Saya hanya berfikir semua tergantung kepada semesta mendukung atau tidak untuk membacakan mimpi yang telah kita ukir. Saya mengukirkan mimpi untuk lanjut studi Doktor, dalam keadaan saya belum menyelesaikan kewajiban untuk lulus Master. Sepertinya ini sangat paradok sekali...tidak masuk akal, ataukah ini hanya nafsu saja???.

Pada 24 Oktober akhirnya saya diproklamasikan kepada seluruh yang hadir di gedung Graha Shaba Permana Universitas terutama kepada kedua orang tua dan saudara dari Lampung bahwa saya lulus dan mendapatkan ijasah dengan gelar Master of Art (MA). Saya sudah membuktikan kepada keluarga bahwa perjalanan saya untuk menuntut ilmu adalah benar. Setidaknya spirit untuk memberikan contoh kepada Tujuh orang adik saya bahwa pendidikan itu mudah akhirnya terlaksana. 

Dua tahun selama di Jogja, namun enam bulan tidak terhitung sebagai aktivitas akademik karena saya cuti dan merantau ke Kampung Inggris Pare di Kediri, dan disanalah saya menelurkan penelitian Tesis. Disana, dimana dulu seorang Anthropolog Amerika Clifford Geertz pernah melakukan penelitian yang tertuang di beberapa karya diantaranya Mojokuto dan Santri Priyayi dan Abangan. Disana saya menemukan generasi informan kunci Geerzt yaitu KH. Ahmad Yazid seorang priyayi yang menguasai beberapa ilmu (matematika, biologi, fisika, dan sosial politik) berkat kelembutan hatinya dalam belajar dan menguasai Sembilan Bahasa Asing.

Saya sangat terinspirasi semangat belajar dari seorang mbah Yazid, begitulah saat ini namanya terkenal dan menjadi cerita kepada setiap pendatang kampung Inggris yang mencaritahu soal sejarah kampung tersebut. Ketika itu saya bertekat bahwa proses belajar ini tidak bisa berhenti, HARUS terus dan terus sampai waktu kematian itu tiba. Mungkin inilah yang sekarang dikenal sebagai konsep long life education.

Setelah selesai kuliah Master, saya diminta orang tua untuk kembali ke kampung halaman di Lampung. Mendapatkan pekerjaan dekat dengan orang tua adalah hal yang paling nyaman dan diinginkan oleh anak dan orang tua. Seminggu di Lampung, seorang dosen di Universitas Lampung meminta agar saya (belajar mengajar) di jurusan Sosiologi tentunya pada Mata Kuliah yang diasuh olehnya. Suatu proses yang sangat saya nikmati, berhadapan dengan mahasiswa, diskusi, dan membaca bahan-bahan ajar. Senang bisa mengabdi di Almamater tercinta.

Di luar itu, saya juga bergabung dengan WATALA (Keluarga Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup). Saya kembali belajar pada kakak senior di WATALA dalam program empowering di kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat dengan isu hutan adat. Kemudian kegiatan capasity building program API Perubahan dengan isu adaptasi perubahan iklim untuk ketahanan. Sangat membahagiakan ketika belajar itu sesuai dengan passion kita. Berdiskusi dengan komunitas petani, belajar kelompok dalam training, bahkan makan bersama tim dipinggir jalan.

Semesta mulai membacakan ukiran mimpi yang lama saya ukir dalam hati, yaitu panggilan untuk melanjutkan studi. Setiap kali saya online internet selalu saya mencari peluang apa yang bisa saya tangkap agar bisa melanjutkan studi???. ternyata Sang Pencipta semesta memberikan apa yang saya butuhkan. Melalui takdirNya, saya masuk dalam lingkaran sistem yang disebut Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN). Setelah mengikuti semua alur dan ketentuan yang ada, akhirnya saya ditetapkan sebagai penerima BPPDN 2013 di program doktor bersama 114 oarang lainnya diseluruh Indonesia.

Selama tiga tahun saya akan berada di lingkungan belajar Institut Pertanian Bogor terhitung sejak akhir Agustus 2013, dengan menggunakan uang negara (uang rakyat Indonesia). Secara iseng saya menghitung uang yang akan saya habiskan selama 3 tahun ke depan sekitar 190 juta rupiah. Uang tersebut akan saya gunakan untuk biaya pendidikan (Registrasi awal, SPP, administrasi disertasi), biaya hidup, domisili, buku, penelitian lapangan, dan biaya perjalanan. Kemudian uang yang akan saya habiskan itu, HARUS saya pertanggungjawabkan kepada negara.

Begitu besar nominal uang rakyat yang diamanahkan kepada saya. Sebagai konsekuensi logis dari amanah itu, saya terikat kontrak bersama Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan (Dikti) bahwa saya harus mengabdi sekurang-kurangnya n+1 (Tiga Tahun masa studi ditambah 1 tahun) di salah satu universitas yang telah saya pilih diantara 35 universitas yang ditawarkan oleh Dikti. Saya memilih Institu Teknologi Sumatera (Itera) yang sekarang sedang di bangun di Kota Baru Lampung Selatan. 

Mengapa saya memilih Itera? 

Pertama karena program studi yang saya ambil (Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan) sesuai dengan salah satu program studi yang ada di Itera. Kedua, saya ingin ambil bagian sebagai putra daerah yang ingin membangun daerahnya, karena kampus ini baru tentu akan memiliki dinamika yang berbeda ketika bergabung dengan universitas yang sudah lebih lama berdiri. Ketiga, dari sisi pragmatis berdekatan dengan orang tua dan adik-adik tercinta, inilah harapan mereka bahwa saya sebagai anak tertua dalam keluarga lebih baik jika berada dekat dengan mereka.

Inilah yang saya maksud bahwa semesta mulai membacakan ukiran mimpi lama. Tidak ada salahnya jika saya tuliskan kembali motto hidup saya "HIDUP ADALAH KEYAKINAN".

Kost Putri Dinar, Dramaga Bogor, 24 September 2013

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bukan Tamu Tengah Malam

Hujan sangat deras sekali ditambah suara petir saling bersaut-sautan. Di ruang berkotak dengan ukuran 3x3 meter ini, saya sendiri. Berusaha untuk tidur nyenyak tanpa menghiraukan suana malam ini yang menakutkan, karena cuaca yang seperti ini jarang sekali terjadi di Lampung. Walaupun sulit, akhirnya tertidur juga.

Mungkin sudah tertidur selama dua jam lamanya, tiba-tiba saya terbangun. Segera mencari HP yang biasanya saya letakkan di atas meja dekat dengan tempat tidur. Saya lihat jam menunjukkan pukul 01.30. Saya terbangun bukan karena suara HP atau karena yang mengetuk pintu, namun suara lonceng di gerbang kost berbunyi. 

Pemilik kost sengaja memasang lonceng yang sering dipakai untuk kalung kerbau atau sapi, ukurannya tidak terlalu besar namun cukup terdengar sampai ke kamar-kamar jika ia bergoyang. Tengah malam dalam keadaan hujan deras, siapakah yang keluar/masuk gerbang tersebut??? dalam hati saya bertanya. Namun karena sedari tadi saya merasa takut, ditambah lagi kejadian itu menambah rasa takut saya. Saya hanya berfikir bahwa ada teman salah seorang penghuni kost yang baru saja pulang. Tak lama kemudian saya berusaha tidur kembali.

Keesokan harinya saya berharap ada informasi dari penghuni kost, siapakah yang membuka gerbang tengah malam sehingga lonceng berbunyi. Namun harapan saya pupus karena tak seorangpun yang bercerita dan sayapun tidak bertanya. Ya sudahlah, alhamdulillah tidak terjadi apa-apa (saya bergumam dalam hati). Kemudian saya melanjutkan aktivitas seperti hari sebelumnya, berangkat ke kampus dan kembali lagi ke kostan.

Malam ini, kembali hujan deras seperti malam kemarin (hujan deras sekali). Kembali nyenyaknya tidur saya terusik dan terbangun tengah malam (sekitar jam 01.00) karena suara lonceng gerbang berbunyi. Siapakah yang membuka gerbang kost??? (bertanya dalam hati). Lagi-lagi saya tidak sanggup untuk membuka pintu kamar dan melihatnya secara langsung. Kali ini saya justru berfikir negatif (jangan-jangan Tukang Maling) yang berusaha masuk ke dalam area kostan. Dengan perasaan takut, kembali saya abaikan kejadian itu dan melanjutkan tidur.

Hari ini adalah hari minggu, semua penghuni kost pagi ini belum ada yang keluar dari gerbang dengan berbagai aktivitas. Ada beberapa yang berkumpul di ruang tamu sambil menonton TV, dengan acara santai (program entertainment: gosip). Sama halnya dengan saya, yang juga tertarik untuk ikut berkumpul, karena jika tidak hari Minggu, maka jarang-jarang kami berkumpul. Sambil nonton, saya kemudian bertanya kepada mereka prihal ketakutan saya dua malam ini. Siapakah yang membuka gerbang dua malam ini sekitar jam 01.00?? (Serentak saja mereka kaget dan penasaran).

Seorang teman (Adis) berkata: "iya, aku denger ada yang buka gerbang tengah malam". Dalam hati saya (berati bukan saya sendiri yang merasa takut dalam dua malam ini). Namun tiba-tiba ada teman lain (Welly) berkata: "Ohhhh, itu mah kucing....dia sering masuk atau keluar kost dengan lompat lewat lubang gerbang, sehingga loncengnya berbunyi".

setelah Welly menjelaskan logika itu, serentak rasa takut dan penasaran saya hilang. Ternyata hanya seekor kucing...Huuuuuuuuuh

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Antara Say good bye to Broiler dan Cerita Ayam Kampung

Senangnya ketika anak induk ayam mulai bertelur, 
berharap telurnya bisa banyak
dan semua telur yang dieramkan
menetas semuanya
Just hope :-), when i child...

Saya mengenal istilah ayam Broiler ketika duduk di kelas 1 SMP N 3 Kotabumi pada tahun 1997, karena ada pelajaran muatan lokal "Peternakan Ayam Broiler". Pada pelajaran ini tidak ada praktek langsung bagaimana budi daya ayam Broiler. Namun lebih kepada perkenalan secara teoritis saja, diperkenalkan jenis pakan yang banyak mengandung protein adalah yang terbaik untuk perkembangan ayam. Kemudian diperkenalkan juga bahwa dalam jumlah yang banyak menggunakan mesin penetasan telur, sehingga tidak perlu induk ayam mengerami telurnya untuk menetaskan telur. Output dari pelajaran ini adalah bahwa budidaya ayam Broiler sangat menguntungkan (Profit oriented), karena durasi budi daya yang singkat hanya sekitar 5-6 minggu sampai waktu panen.

Itulah sekilas pelajaran muatan lokal di sekolah yang tidak pernah saya ceritakan kepada orang tua. Namun sebagai anak yang berasal dari kampung, saya paham sekali tentang bagaimana ayam-ayam di kampung berkembang biak. Karena orang tua juga memeliharan beberapa ayam. Dalam keluarga kami memiliki keunikan tentang management ayam. Apakah itu???

Orang tua saya memelihara beberapa induk ayam kampung. Semua anggota keluarga (10 orang) memiliki ayam masing-masing, minimal 1 ekor ayam induk dan anak-anaknya. Kemudian setiap induk ayam diberi nama anak-anaknya. Jadi kami 8 bersaudara memiliki induk ayam masing-masing yang kemudian dipelihara. Buya (panggilan untuk Bapak) dan Emak (panggilan untuk Ibu) menjanjikan akan memotong satu ayam ketika libur kenaikan kelas tiba. Namun memotong ayam itu ada syaratnya yaitu jika kami semua anak-anaknya yang sedang sekolah "semua naik kelas". Diluar celebration itu, ayam yang dipotong adalah milik Buya atau emak. hehehe

Saya dan adik-adik ketika usia anak-anak memahami bagian dari tubuh ayam yang enak dimakan adalah paha dan hati. Jadi jika ingin makan paha ayam dan hatinya, maka ayam miliknyalah yang harus dipotong. Misalnya saya yang ingin makan paha dan hati ayam, maka ayam sayalah yang harus dipotong. Tentunya harus memperhatikan jumlah ayam saya berapa??? kalau hanya induknya saja dan anak-anaknya masih kecil maka tidak boleh dipotong. Jadi aturan ini harus memperhatikan masa produktifitas ayam kami. Biasanya ayam yang sering dipotong adalah ayam pejantan, alasannya karena ayam jantan tidak akan menelur hehehehe (berarti sejak kecil sudah ngerti hukum produktivitas ya :-)). Biasanya kalau ada keperluan uang, ayam-ayam yang sudah besar, dijual ke pasar. Tapi saat itu saya dan adik-adik tidak memperdulikan berapa harga dan untuk keperluan apa ayam dijual karena itu adalah urusan orang tua. 

Ayam-ayam saya dan adik-adik dipelihara orang tua di kebun tempat orang tua usaha (paroan) di Kampung Sriagung, sekarang di kabupaten Sungkai Selatan. Ketika saya liburan sekolah pasti ke kebun tersebut, sementara di Kotabumi saya tinggal bersama saudara. Adik-adik yang masih Sekolah Dasar bersama orang tua di kampung Sriagung. 

Kembali ke ayam lagi....Saya dan adik-adik punya tanggung jawab untuk memberi makan setiap pagi ketika sekitar jam 5.30. Menjadi alasan Buya membangunkan kami, karena ayamnya sudah ribut minta makan. Pakan ayam yang kami berikan sangat sederhana yaitu jagung bulat (hasil menanam sendiri) atau padi (hasil menanam sendiri) atau nasi dan sayuran sisa makan malam. Duduk di atas beranda rumah (karena rumahnya panggung), sambil melempar makanan ayam dari atas dan melihat pemandangan yang indah, dimana ayam-ayam berebut makan hehehehe seru sekali. Namun tak jarang kita harus turun dan mendekati ayam-ayam itu makan, karena ketika memberikan makan, banyak juga ayam orang lain datang menghampiri makanan. Jika kita dekati maka dengan mudah mengawasi ayam-ayam kita makan. Memberi makan ayam hanya pagi hari saja, siangnya ayam mencari makan sendiri di dalam kebun-kebun.

Tanggung jawab lainnya adalah ketika sore hari menggiring ayam-ayam tersebut masuk ke kandang (ayam yang baru saja menetas atau masih kecil bersama induknya). Sementara ayam yang sudah besar bertengger di pohon-pohon samping kanan rumah. Pekerjaan ini dilakukan secara bergilir, karena kadang muncul rasa malas jika dikerjakan sendiri dan terus menerus...so, kalau lewat maghrib ayam belum kembali ke tempatnya biasanya ditegur oleh orang tua. Hahaha

Nah, kalau begitu, saya tahu bahwa rata-rata ayam kampung mulai bertelur berusia sekitar 6 bulan. Masa bertelur sekitar 18 hari dan waktu mengeram sekitar 21-30 hari. Saya dan adik-adik diberi pemahaman bahwa daging ayam yang usianya dibawah 5 bulan sangat tidak enak dimakan. Oleh karena itu kami tidak pernah memakan ayam yang dibawah umur...hehehe. Yang paling enak ketika ayam bertelur, emak saya sering menyisihkan jumlah telur sebelum dieram oleh induk ayam. Emak sering bilang bahwa telur ayam kampung itu sangat baik untuk kesehatan, cara makannya direbus setengah matang...wah mantap pokoknya. Kami anak-anaknya sering diantri/bergilir makan telur ayam rebus setengah matang.

Sangat berbeda perlakuan budidaya ayam kampung dan ayam Broiler. Selain pernah belajar budidaya ayam Broiler juga sering membaca tentang ayam Broiler yang tumbuh berkembang dengan dukungan obat dan vaksin. Namun pada kenyataannya Saya dan keluarga juga mengkonsumsi ayam Broiler. Sampai pada kuranglebih pada bulan Ramadhan 2011 saya memutuskan akan menjalankan bulan puasa tanpa daging ayam, hanya sayuran, ikan dan telur saja. Ketika itu saya sedang study di Jogjakarta, tinggal di Asrama Putri Daerah Lampung milik Pemerintah Provinsi Lampung. Disana ada dapur bersama, sehingga bisa masak sendiri. Saya membuat program konsumsi tanpa ayam selama sebulan penuh, hampir setiap sahur saya hanya makan sayuran yang dimasak dengan direbus saja (tanpa tumis minyak atau santan). Program ini saya lakukan karena belajar makan makanan sehat sesuai bacaan atau tontonan. Program tersebut berhasil tanpa ada keluhan apa-apa, sampai saat ini saya sangat menghindari makan ayam Broiler. Protein ayam Broiler diganti dengan protein tempe, tahu, telur atau ikan dan sesekali daging kambing atau sapi. 

Salam...




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS