Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagi senior-senior di jurusan Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) IPB karena akhirnya mereka sampai pada tahap akhir sebuah perjalanan program pendidikan doktor yaitu wisuda. Terlihat kebahagiaan itu ketika 4 orang Doktor itu memberikan sambutan satu-persatu di hadapan para dosen, mahasiswa PWD dan tentunya keluarga besar masing-masing mereka yang hadir.
Hadir dan mendengarkan sambutan satu persatu dari para wisudawan adalah keuntungan bagi saya. Untaian kata yang mengalir dari ke-empat orang itu menceritakan suka duka perjalanan mereka selama 5 tahun. Yah sejak tahun 2008 mereka bertemu dan belajar merajut asa yang sama di tempat yang sama. Dosen-dosen yang hadir mengakui bahwa senior-senior ini memiliki social capital yang sangat tinggi. Mereka kompak dan tidak pernah komplain ketika diajak praktek lapangan kemanapun oleh dosen yang bersangkutan.
Dalam sambutan mereka menyampaikan bahwa dengan adanya social capital yang kuat diantara mereka, berdampak positif bahwa mereka tidak yakin jika mereka tidak lulus. Kekompakan dan kebersamaan yang terjadi diantara mereka adalah selalu melakukan diskusi kelompok, bahkan iuran untuk kepentingan belajar. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa tempat belajar bukan hanya di kampus, akan tetapi di cafe maupun warung pojok. Satu diantara mereka adalah seorang Ibu, dia bercerita ketika menjelang Ujian Kualifikasi (Prelim), beliau melahirkan. Dengan senang hati teman-temannya yang lain datang dan belajar di rumah Ibu tersebut. Bangga dan bahagia mendengarkan kekompakan seperti itu.
Dalam sesi photo bersama, sebuah do'a saya panjatkan penuh harap agar saya dan teman-teman 2013 mendapatkan kesempatan yang sama seperti mereka. Yah berharap wisuda bersama-sama namun sedikit dipercepat, supaya jangan sampai hitungan 5 tahun. Jika 3 tahun terlalu cepat, yah 4 tahun saja saya sudah bersyukur. Karena saya belum mendapat informasi ada senior di jurusan ini yang mampu menyelesaikan studinya dalam hitungan 4 tahun. Cukup menantang juga :-)
Jauh dari keluarga, menikmati rutinitas perkulihan, tertawa bersama saat mengerjakan tugas-tugas dan pusing tujuh keliling saat memahami cacing-cacing adalah aroma yang ada di perjalanan ini. Semoga sehat selalu dan mampu menyelesaikan amanah ini dengan baik.
Kata Kunci: Kompak
Dramaga, Bogor 20 Nov 2013:17.24
Tamu Wisuda dan Harapan Wisuda
"Gila" Kata Siapa?
Hampir setiap sore kota Bogor hujan, mungkin itulah banyak orang menyebutnya sebagai kota hujan. Sore itu sekitar pukul 17.00 sepulang dari kampus, saya mampir di sebuah toko buah. Saat sedang memperhatikan dan memilih buah yang akan dibeli, tiba-tiba perhatian saya beralih kepada seorang perempuan (kira-kira berumur 40 tahunan). Saya pikir dia akan membeli buah juga, dengan gayanya memegang beberapa buah kiwi. Namun, seorang pelayan dengan nama seperti mengusir ayam (hus...hus...hus) dan mendekati perempuan itu kemudian melarang untuk menyentuh buah-buah tersebut. Akhirnya perempuan itu pergi tanpa membeli dan membawa satu buahpun.
Seperti halnya saya yang mampir dan membeli buah, itu karena ingin memakannya. Perempuan itu tadi pasti punya harapan yang sama, yaitu ingin makan buah. Sebenarnya apa yang membedakan saya dan perempuan itu? mungkin kah gaya rambut? tentu berbeda, dia mempunyai potongan rambut pendek seperti laki-laki sementara saya memakai jilbab. Mungkinkah pakaian kami berbeda? tentuntu berbeda, saya memakai kemaja lengan panjang dan celana dasar panjang, sementara dia memakai baju kaos oblong dan celana hawai dibawah lutut. Hal yang berbeda lainnya adalah dimulutnya ada sebatang rokok yang belum dinyalakan, sementara saya tidak merokok.
Sebenarnya tidak ada yang aneh dari penampilan perempuan itu, seperti kebanyakan perempuan lainnya. Ada satu hal yang baru saya tahu bahwa perempuan itu "gila". pelayan tadi mengusirnya karena khawatir mengganggu.
Dua hari berlalu...
Pagi hari ketika saya akan berangkat ke kampus, melewati jalan biasanyanya (Jl. Raya Dramaga). Dari kejauhan saya melihat perempuan yang pernah saya lihat di toko buah dua hari yang lalu. Yah, saya mengenal raut wajahnya. Ciri khas yang sama yaitu sebatang rokong yang belum dihidupkan ada di antara bibirnya. Sembari terus berjalan, terus saya perhatikan olah tingkahnya. Dia hanya duduk di sudut halaman toko yang belum dibuka oleh pemiliknya. Dalam hati saya berkata "mungkin benar perempuan itu gila".
Tiba-tiba dari arah yang sama di seberang sana ada seorang laki-laki yang berjalan mendekati perempuan tersebut. Laki-laki menggunakan baju kaos oblong warna hitam lusuh, dan beberapa bagiannya sudah sobek. Begitupun dengan celana panjang coklat yang dia gunakan, kanan-kirinya cobek dan kotor. Rambutnya yang panjang terikat menggumpal. Laki-laki itu menjinjing 3 pelastik hitam yang lumayan besar yang tidak tahu isinya apa. Kakinya tanpa alas, terus melangkah mendekati perempuan tadi.
Sementara saya berjalan semakin dekat dan dekat dengan mereka namun kami berseberangan. Saya melihat perempuan itu menegur laki-laki tersebut, namun laki-laki itu hanya diam. Kemudian perempuan itu menegur lagi, namun tetap laki-laki itu diam. Perempuan itu lalu mengambil sebatang rokok dari mulutnya kemudain menjulurkan (memberikan) kepada laki-laki itu.
Dari seberang jalan saya berdiri memperhatikan mereka dan bertanya dalam hati (Apakah mereka saling kenal?, sepertinya tidak). Sayang sekali saya tidak pegang kamera, dan hand phone pun tidak bisa mendokumentasikan kejadian itu. Perempuan yang masih terduduk itu memberikan rokoknya, sementara laki-laki itu mendekat dan menunduk ke arah perempuan itu. Wah saya ingin tahu sebenarnya apa yang sedang meraka ucapkan/kamunikasikan.
Namun karena saya harus segara sampai di kampus, saya tinggalkan pemandangan itu. Sepanjang jalan saya masih saja memikirkan olah tingkah mereka berdua yang membuat saya penasaran. Sampai-sampai saya harus mengakui bahwa mereka "tidak gila" sebagaimana yang dilabelkan oleh orang-orang yang melihatnya. Yah mereka tidakgila, mereka bisa berkomunikasi dengan baik. Mereka mempunyai hati yang baik antara satu dan lainnya.
Seandainya saya seorang perempuan yang merokok, dan tak seorangpun yang mengatakan/melabelkan kepada saya "gila". Apakah saya akan memberikan sebatang rokok yang saya punya kepada teman saya? belum tentu. Sementara perempuan itu, yang dianggap gila namun ia mau memberikan sebatang rokoknya kepada laki-laki yang dianggap gila.
Oh tidak, ini adalah sebuah kesalahan. Sungguh menghawatirkan, jangan-jangan orang sehat yang mengatakan orang lain gila itu adalah dia yang sedang gila. Kesehatan, kebersihan, kerapihan, kelincahan berbahasa, kecerdikan berpikir justru menganggap orang yang kumuh, kotor, dekil, pakai baju sobek sana-sobek sini, rambut panjang meringkal tak terurus, bau, adalah gila . Dalam penampilan yang gila, mereka mempunyai hati yang sehat.
Jika mereka memilih jalan sebagai rumah mereka, berjalan sepanjang hari. Tidur di jalan, meminta makanan dari warung ke warung, atau mengais sampah mencari makan. Itu semua bukan berarti mereka gila. Ternyata mereka memiliki hati yang tulus, terhadap sesama mereka. Mereka mampu berkomunikasi dua arah, layaknya kita.
Siapkah yang pertama kali melabelkan "gila" kepada orang-orang gila?. Saya jadi teringat kepada seorang perempuan gila di sekitar pasar Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara. Semenjak saya SD sampai sekarang perempuan itu terkenal dengan sebuatan nama "Minul Gila". Kesehariannya hanya duduk di pinggiran jalan, dengan menggunakan sarung dan kaos oblong yang lusuh dan kotor. Rambutnya yang panjang dan tebal nampak seperti sanggul karena kotor tidak pernah dicuci. Namun ironisnya, si Minul juga hamil. Siapakah orang yang menghamili Minul? ternyata dia adalah orang sehat fisiknya tapi lebih-lebih gila jiwanya. Masih banyak lagi orang-orang sehat di dunia ini yang memiliki hati dan jiwa yang gila, namun sayangnya dia tidak menyadari kegilaanya.
Dramaga Bogor, 12:28
Jangan Putus Sekolah ya Sayang
Dialah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 7 tahun harus putus sekolah. Muhammad Riski Ramadan adalah anak dari seorang buruh tani bernama Mayunis dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Sudah sering kali mendengar berita anak-anak putus sekolah lantaran ketidakmampuan orang tuanya membiayayi sekolah anaknya. Apalagi di daerah-daerah yang mayoritas pendapatan hanya sebagai buruh tani.
Ada yang lain dari kebanyakan kasus putus sekolah yag dialami oleh Riski. Berita yang diterbitkan oleh Oke Zone ini (lengkapnya klik disini), menggelitik hati saya untuk menyampaikan sesuatu dalam tulisan ini. Dengan hasil yang pas-pasan sebenarnya pak Mayunis masih mampu menyekolahkan anaknya, setidaknya sampai selesai Sekolah SD. Namun yang menjadi persoalan adalah Riski putus sekolah lantaran karena tingkat kecerdasannya yang melebihi teman-teman seusianya. Bahkan bisa dikatakan mengalahkan usia 20 tahun kebanyakan anak Indonesia. Riski sudah menguasai beberapa bahasa asing (Inggris, India, Mandarin dan Malaysia) diusia belianya. Maaf, saya saja tidak secerdas Riski.
Kelebihan yang dimiliki Riski justru menjauhkan dirinya dari dunia kanak-kanaknya. Sebagaimana kita ketahui usia Sekolah Dasar adalah masa dimana anak-anak memupuk kecerdasan sosialnya melalui interaksi dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dan menjalin komunikasi yang sehat kepada usia yang lebih tua darinya yaitu guru-guru di lingkungan sekolah. Namun Riski hanya 6 bulan sekolah di SD Negeri Cangkiang. Karena karakter Riski yang tidak mau belajar dengan sistem yang mengulang-ngulang, sehingga membuat dia tidak nyaman dikelas. Keadaan ini dinilai mengganggu proses belajar mengajar siswa-siswi yang lain oleh gurunya. Sehingga Riski dikeluarkan dari sekolahnya dan disarankan untuk sekolah khusus oleh gurunya.
Tidak ada yang salah dengan tindakan pihak sekolah tersebut, karena itu merupakan tindakan jangka pendek dan bersifat makro demi siswa-siswi yang lain. Menurut saya, seandainya anak-anak di tanah air ini seperti Riski justru akan sangat membantu kerja-kerja para guru SD. Tidak lagi kita temui guru berteriak-teriak memanggil muridnya yang malas belajar dan justru hanya ingin bermain saja. Tidak ada lagi guru yang kesal karena muridnya belum memahami apa yang disampaikan, padahal sudah berulang kali. Dan tidak akan ada lagi kasus guru dilaporkan ke kepolisian oleh orangtua muridnya dikarenakan mencubit muridnya yang nakal (kasus di Kabupaten Waykanan-Lampung, lihat disini). Ditingkat yang lebih makro, para perencana pendidikan Indonesia ini tidak perlu lagi mengganti kurikulum disetiap musimnya.
Riski adalah salah satu mutiara yang ada di Indonesia, namun kenapa karena kelangkaannya justru dianggap sebagai kendala bagi mayoritas?. Ada baiknya sebagai pihak sekolah guru dan kepala sekolah yang lebih dekat dengan Riski (bersama orang tua tentunya) mengkomunikasikan keadaan ini kepada Dinas Pendidikan setempat untuk memberikan alternatif belajar di sekolah bagi seorang Riski. Bersamaan dengan itu pula, komunikasi dapat ditingkatkan kepada stakeholder pendidikan yang lebih luas (provinsi atau bahkan negara) agar kasus serupa yang terulang di waktu dan tempat yang berbeda menjadi perhatian yang bijak.
Jangan katakan bahwa ini sulit karena sistem pendidikan kita memang tidak mengatur kelangkaan kecerdasan seperti yang dialami Riski !. Dan jangan katakan pula tidak ada alokasi dana untuk membuat seorang generasi bangsa seperti Riski untuk dapat terus belajar!.
Sudah selayaknya Riski dan mutiara bangsa lainnya mendapat haknya dengan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Jika memang dibutuhkan seorang ahli pendidikan khusus untuk perkembangan akademik Riski, mengapa tidak? Negara bisa membayar ahli pendidikan tersebut. Namun menjadi catatan adalah kecerdasan sosial Riski pun adalah suatu hal penting, yaitu lingkungan pertemanannya. Agar Riski dapat menjadi pemimpin yang tidak hanya cerdas dalam ilmu pengetahuan namun bijak terhadap lingkungan disekitarnya. (Asnani)
Dramaga, Bogor 08-11-2013
Catatan Kongres XI Forum Wacana IPB 2013
Subuah SMS masuk dari seorang teman yang meminta tolong untuk mengecek surat
permohonan pengrimiman delegasi Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Pedesaan (PWD) di ruang sekretariat PWD. Kemudian saya balas SMS
itu bahwa saya akan mengeceknya besok. Namun tak berapa lama kemudian saya
langsung saja mengirim SMS kepada pengelola prodi prihal surat tersebut,
ternyata surat sudah masuk pada tanggal 15 Oktober 2013.
Keesokannya saya mampir ke prodi dan membaca surat tersebut beserta
lampiran2nya (Surat Delegasi Kongres (Form A), Perubahan surat delegasi kongres
(Form B), jadwal acara, Formulir bakal calon ketua umum Forum Wacana IPB,
daftar peserta penuh kongres XI Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB 2013 dan
beberapa dokumen Rancangan Ketetapan). Pengelola prodi mengatakan bahwa:
"siapa saja yang akan menjadi delegasi diserahkan sepenuhnya kepada
mahasiswa". Oleh karena itu saya inisiatif untuk membawa surat itu beserta
dokumennya untuk saya umumkan kepada teman2 baik S2 maupun S3 (kebetulan saya
akan bertemu mereka pada perkuliahan Makro Ekonomi).
Dari 5 Kuota yang didapat oleh PWD, saya hanya berhasil menjaring 3 orang
(termasuk saya) untuk menjadi peserta delegasi tersebut. Sementara temn-teman
yang lain tidak tertarik untuk mengikutinya dengan berbagai alasan,
diantaranya: menjelang UTS, khawatir kedepannya akan diminta jadi
kordinator acara ini dan itu. Baiklah, itu adalah hak mereka dan saya harus
bersyukur setidaknya ada teman (Idealisme masih tinggi nich). Selanjutnya saya
langsung meminta tanda tangan dari ketua prodi sebelum diserahkan kepada
panitia. Prodi menanyakan mengapa hanya tiga orang? coba hubungi kakak tingkat
2012 !. Oleh staf disana saya diberikan no hp salah seorang kakak tingkat,
kemudian saya hubungi berkaitan dengan delegasi tersebut. Ternyata beliaupun
tidak tertarik. Tidak lupa saya berpesan bahwa jika ada teman-teman yang lain
ingin ikuti, masih ada kesempatan perubahan delegasi sampai tanggal 25 Oktober.
Beliau itu cuma bilang "terimakasih".
Hari itu saya putuskan untuk memasuki nama 3 orang tersebut untuk mengikuti
kongres pada tanggal 26 Oktober karena hari itu (24 Okt) adalah hari terakhir
pendaftaran. *Masih mengikuti prosedur yang berlaku#
Acara kongres XI ini dilaksanakan di Gd. Sylva Pertamina Fakultas Kehutanan
dimulai pukul 08.00-18.00 sesuai jadwal yang terlampir. Dengan pakaian yang
rapi, dan bersepatu saya dengan senang hati menuju lokasi dan tiba disana
sebelum jam 08.00. Kemudian saya registrasi jam 08.00 kemudian memilih
tempat duduk yang nyaman. Panitia nampak siap dengan tugasnya masing-masing,
namun yang menjadi pertanyaan saya? mengapa diawal ini panitia di dominasi oleh
kaum adam? hanya ada 2 panitia perempuan yang terlihat (notulen dan yang akan
memimpin menyanyi Indonesia Raya). Baiklah, mungkin yang lain belum datang.
Jujur baru kali ini saya mengikuti acara yang benar-benar on time acara
dimulai pukul 09.00 (dalam hati mulai simpati dengan cara kerja para panitia).
Semua kursi yang tersedia penuh, namun saya lupa jelasnya berapa jumlah peserta
yang hadir. Pada sambutan ketua umum bahwa kongres ini adalah kongres terbesar
sepanjang sejarah. Artinya jumlah pesertanya sangat banyak. Tentu saja karena
mahasiswa baru IPB pada tahun ini meningkat drastis, jadi ini adalah sebuah
kewajaran dan bukan sebuah prestasi.
Masuklah pada sesi Sidang Pendahuluan yang membahas jadwal acara, tatatertib
kongress, dan pemilihan pesidium sidang yang di fasilitasi oleh SC. Tidak ada
masalah dengan jadwal dan forum sepakat jam 18.00 selesai. Sidang mulai
menunjukkan reaksi ketika membahas tata tertib sidang perihal peserta kongres.
Peserta kongres terdiri dari peserta penuh dan peserta peninjau. Peserta penuh
merupakan perwakilan prodi (termasuk saya nich) yang memiliki hak bicara dan
suara. Sementara peserta peninjau adalah utusan dari organisasi pascasarjana
lingkup IPB dan Forum Wacana Daerah, merka hanya memiliki hak bicara namun
tidak memiliki hak suara.
Sidang mulai panas ketika ada beberapa orang di luar ruangan datang membawa
surat delegasi dari prodi, namun oleh panitia tidak diperbolehkan karena telah
melewati batas waktu yang telah ditetapkan. Alasan para teman-teman yang baru
datang ini adalah karena sebelumnya mereka tidak mengetahui acara tersebut dan
tidak sampainya undangan Forum Wacana ke prodi mereka. Wahhh beberapa peserta
kongres mulai mencari-cari kesalahan panitia nich, dengan meminta menunjukkan
surat/bukti bahwa panitia telah menyampaikan surat ke prodi.
Saya masih menjadi pengamat yang setia, suara-suara keras mulai terdengar
sahut menyahut. Beberapa tangan yang gemetar saling tunjuk menunjuk dan
beberapa orang mulai tidak lagi duduk manis ditempatnya bahkan sudah berjalan
di koridor ruangan sambil mengayun ayunkan microphone. Bahkan ada juga peserta
perempuan di belakang saya berkata"pimpinan sidang!, pimpinan sidang!"
berulang-ulang. Saya tahu mereka meminta waktu untuk berbicara. Namun suara
mereka tidak didengar lagi-lagi yang punya kesempatan bisacara adalah peserta
laki-laki. *Hati saya mulai gelisah nich#
Saya hanya mencatat komentar saya dalam hati bahwa kongres ini level
pascasarjana loh, di dalamnya ada calon master dan doctor. Saya melihat panitia
sudah bekerja maksimal mengapa teman-teman yang baru datang begitu manja
sehingga keterlambatan mereka harus dimaklumi dan masih saja memaksa untuk
masuk mengikuti kongres. Mengapa pula ada beberapa teman di dalam forum harus
sebegitu kerasnya memperjuangkan mereka masuk dengan mengabaikan substansi dari
kongres tersebut?. Sampai-sampai SK secagai SCpun harus dipertanyakan dan
mengatakan bahwa SK itu sakral? yah mungkin itulah wujud kekritisan mereka.
Sementara peserta perempuan hanya bisa berkomentar dengan teman disampingnya
menambah hiruk pikuk ruangan tersebut (termasuk saya).
Ada satu perhatian saya saat itu yaitu dua orang notulensi (laki-laki dan
perempuan) justru sibuk sendiri ngobrol, mereka tidak mencatat sanggahan,
saran, informasi, atau yang lainnya. Melihat itu saya merasa kasihan dengan
teman-teman yang sudah saling otot-ototkan memperjuangkan pendapatnya.
Olehkarena itu saya berdiri dan mengacungkan tangan mohon bicara kepada
pimpinan sidang (Lagi-lagi gagal). Lalu saya inisiatif menghampiri notulen itu
dan mengatakan bahwa: "perubahan redaksional yang tadi belum dicatat, ini
adalah dokumentasi yang sangat penting!". Mereka hanya bilang: "sudah
mba!". Tapi kenyataanya di slide tidak ada perubahan apa-apa. (Bagaimana
ini)
Ketika Ishoma tiba, panitia mengumumkan silahkan untuk mengambil makan siang
dengan menunjukkan name tag. Kemudian saya bercanda dengan teman-teman
disekitar saya: "name tag ini yang sakral, karena tanpa ini kita tidak
dapat makan siang. Kalau SK SC tidak begitu sakral!...serentak teman-teman
tertawa dan kami menikmati makan siang itu bersama.
Selanjutnya ketika pemilihan pimpinan sidang, terpilihlah satu orang
keterwakilan perempuan. Sidang Pleno 1 dengan pembahasan laporan pengurus Forum
WacanaIPB periode 2012/2013 yang disampaikan oleh Ketua Umum Syamsu Rizal,
S.Hut, SMi. Saya sendiri memberikan apresiasi kepada pengurus ini karena dalam
waktu setahun bisa merealisasikan 32 kegiatan. Sebelumnya laporan tertulis saya
terima ketika registrasi, jadi sebelum ketua umum mebacarakn laporan tersebut,
saya sudah membaca semuanya. Catatan kecil saya adalah: standar laporan yang
menjelaskan nama kegiatan, tema, tempat, waktu, tujuan, hasil yang dicapai, jumlah
peserta yang mengikuti, sumber dana dan kegunaannya belum lengkap. Ternyata
yang catatan kecil ini ada juga yang mempertanyakan kepada ketua umum namun
dengan cara yang berbeda "ini seperti laran anak SD, laporan yang sangat
konyol sekali!". Saya cuma bilang: Wow keren mahasiswa pascasarjana loh
ngomongnya begitu. Sampai-sampai ketua umum menanggapi: "Sebenarnya saya
tidak tahu laporan yang konyol itu seperti apa".
Setiap manusia, organisasi, episode pastilah punya kekurangan dan
kelebihannya. Kita sebagai teman patutlah kita memberi apresiasi walapun kita
harus juga memberikan refleksi mana yang sudah baik dan mana yang perlu
diperbaiki. Saya pikir tidak perlu sampai berteriak-teriak mengeluarkan emosi
sebegitunya. Apakah Mubes/Kongres itu tidak sempurna jika tidak ada nuansa
sarkasme dan anarkisme nya???
Sampailah pada Sidang pleno ke 2 pembahasan AD/ART Forum Wacana IPB periode
2013-2014 dan rekomendasi organisasi Forum Wacana IPB. Semua berjalan dengan
lancar walaupun terkadang muncul emosi-emosi yang tidak terkendali, biasanya
berakhir pada komentar sang wasit persidangan yaitu ketua umum. Namun pada
tahap ini ada satu kejadian yang membuat semua forum emosi, sampai pimpinan
sidang akan diturunkan. Tanda-tanda ini sudah saya bisikkan kepada teman disamping
saya:"pimpinan sidang yang perempuan hanya jadi pajangan". Karena
semenjak dia ditetapkan menjadi pimpinan sidang belum pernah terdengar suaranya
padahal sidang pleno 2 hampir selesai dan waktu menunjukkan sudah jam 17.00.
Benar saja, saya yang duduk di depan dengan jelas melihat pimpinan sidang yang
perempuan menggendong tasnya yang berwarna hitam keluar melalui tirai belakang
panggung. Saat ini masih hangatnya membahas ART. Kepergian pimpinan sidang
perempuan itu tanpa ada persetujuan forum, sepertinya tak banyak yang tahu
kepergian pimpinan sidang itu atau mereka belum sadar ya kalau pimpinan
sidangnya hilang satu.
Seseorang peserta laki-laki dibelakang sadar dan menanyakan "mengapa
pimpinan sidang perempuan tidak pernah bertugas?, siapa tahu ruangan ini lebih
fresh jika perempuan yang memimpin sidang. Dimanakah pimpinan sidang
satunya?"......hahahaha keadaan lebih heboh dan sidang di skor 2x10 menit
karena dua pimpinan sidang laki-laki berdiskusi dan berusaha menghadirkan
pimpinan sidang yang perempuan. setelah itu skor dicabut, dan belum juga
menghadirkan pimpinan sidang 3 (perempuan), sementara pimpinan sidang 1 dan 2
(laki-laki) bergaya tegas dengan melanjutkan persidangan. Keanehan mulai
terbaca, karena suara peserta forum pecah antara sebagian besar peserta penuh
dan peserta peninjau. Peserta penuh mengharapkan sidang dilanjutkan dengan
alasan waktu dan peserta peninjau tidak bisa melanjutkan sebelum menghadirkan
pimpinan sidang 3. Saya sebagai peserta penuh setuju dengan peninjau. Teman
disamping saya berkata "pimpinan sidang 1 dan 2 adalah titipan, saya
menyesal tadi kenapa mengundurkan diri menjadi pimpinan sidang kalau ternyata
begini". Wah kebenaran titip menitip ini tidak bisa dibuktikan ya teman.
Tapi menurut logika saya, memang ada yang aneh kenapa pimpinan sidang 3 tidak
pernah diberikan kesempatan memimpin sidang. Sampai Pimpinan sidang 3 pun sudah
hadir, masih saja pimpinan sidang 1 dan 2 memaksa melanjutkan persidangan.
Padahal peserta forum meminta klarifikasi mengapa beliau meninggalkan tempat
saat sidang berlangsung. Ada yang benar-benar lucu ketika pimpinan sidang ingin
klarifikasi dia meminta palu sidang diberikan kepadanya terlebih dahulu.
Serentak peserta forum ada yang tertawa, mengejek dan ada pula yang menjelaskan
bahwa untuk sekedar klarifikasi tidak perlu serah terima palu. Terdengar
disekitar saya "nanti mbanya dibelikan palu dech".
Akhirnya pimpinan sidang 3 klarifikasi, dia meninggalkan persidangan karena
beberapa kali dia meminta agar dia ditugaskan menjadi pimpinan sidang namun
pimpinan sidang 1 tidak mendengarkan permintaannya. Dia merasa tidak mempunyai
peran apa-apa dipanggung persidangan, padahal dia dipilih secara aklamasi
sebagai pimpinan sidang perwakilan perempuan. Dengan emosi dan suara menahan
tangis dan raut wajah yang merah marah dia menjelaskan "saya minta maaf
semoga dengan tindakan saya ini menjadi pencerahan kita semua bahwa perempuan
harus dilibatkan". Wahhhhh saya salut dengan pimpinan sidang 3 ini, dia
berani mengambil tindakan yang berpengaruh demi prinsip. Bayangkan saja dengan
ulah pimpinan sidang 3 ini waktu persidangan molor 3 jam. Namun bagi
saya it's ok karena kejadian ini adalah tamparan bagi para peserta
kongres level pascasarjana bahwa kesetaraan gender sangat mudah dalam teori dan
begitu berat dan aplikasinya. Apakah pimpinan sidang 1 dan 2 akan merasa jatuh
harga dirinya ketika pimpinan sidang 3 yang memimpin?
Keadaan kembali mematikan dengan cepat sel-sel dalam tubuh ketika gelombang emosi
peserta kongres datang seperti tsunami. Setelah pimpinan sidang 3 sudah
klarifikasi persidangan dilanjutkan, namun beberapa kali peserta kongres
meminta palu persidangan diserahkan kepada pimpinan sidang 3. Namun permintaan
itu tidak diindahkan oleh pimpinan sidang 1 dan 2. Sampai orang-orang yang
gerah dengan pimpinan sidang 1 maju kearah panggung persidangan dan akan
menurunkan secara paksa pimpinan sidang 1, namun saat itu juga orang-rang yang
pro kepada pimpinan sidang 1 maju menghalangi sampai terjadi dorong mendorong
dan relai melerai. Lagi-lagi diakhiri dengan komentar wasit kongres yaitu ketua
umum.
Setelah beberapa peserta memberikan pendapat tentang pergantian palu sidang,
dan pimpinan sidang 1 dan 2 merasa terdesa maka palu persidangan diserahkan
kepada pimpinan sidang 3. Setelah saya dengarkan cara pimpinan sidang 3
memimpin sidang, ternyata perempuan juga bisa tidak kalah dengan laki-laki.
Begitu tidak mudahnya menjatuhkan egoisme seorang laki-laki demi sebuah palu
kepada perempuan padahal secara aturan sudah jelas bahwa perempuan tersebut
hanya meminta haknya.
Sampai pukul 24.00 saya masih bertahan, berharap saya bisa memberikan hak
suara saya kepada salah satu calon ketua umum Forum Wacana 2013/2014. Yahhhh
inilah upaya saya menjadi peserta kongres yang baik, berharap mendapat sebuah
pembelajaran untuk Indonesia mendatang. Padahal seperti yang saya sampaikan
didepan bahwa kongres ini hanya sampai pukul 18.00. Demi sebuah kesempurnaan
dan keidealan sebuah kongres seluruh peserta sepakat melanjutkan kongres
walaupun konsekuensinya tidak mendapatkan malam ataupun snack tambahan. Wahhh
saya bangga dengan teman-teman peserta kongres ini.
Namun ada sebuah kejadian yang telah menggilas jiwa-jiwa para peserta
kongres yang mengharapkan keidealan dan kesempurnaan kongres tadi. Apakah itu??
Ketika memasuki tahap pemilihan calon ketua umum, diumumkan ada 6 orang yang
telah terjaring sebagai bakal calon. Keenamnya dipanggil dan dipersilahkan
duduk di koridor depan ruang kongres di kursi yang telah disediakan panitia.
Namun sekitar 20 menit dengan berbagai dinamika di dalamnya, peserta harus
menunggu 3 orang bakal calon yang belum hadir di ruangan tersebut. Dalam hati
saya mencatat: pertama ketiga bakal calon yang belum hadir tidak
mempunyai niat yang kuat, jadi tidak lebih baik dipilih. kedua mereka
sebagai calon ketua umum yang jika terpilih akan melayani ribuan mahasiswa
pascasarjana, jika belum terpilih saja, kita sudah harus menunggu mereka. ketiga
saya meyakinkan hati bahwa satu suara suara saya akan saya berikan kepada
mereka yang memang sudah siap di depan.
Setelah ditunggu beberapa lama semua calon muncul dan menyampaikan visi misi
mereka di podium. Ketika panitia menyiapkan alur dan teknis pemungutan suara,
tiba-tiba 4 orang calon mengundurkan diri dan menyerahkan suara mereka kepada
salah satu calon yang mereka tunjuk. Hal ini otomatis penggiringan suara para
pendukung calon yang mengundurkan diri kepada calon yang mereka tunjuk.
How can it be???
Untuk para pemain di dalam kongres ini saya ingin menyampaikan bahwa apakah
kalian tidak memperhitungkan social cost yang sudah kami (peserta kongres)
keluarkan demi kongres ini. Ada ibu-ibu yang meninggalkan empat orang anaknya,
ada ibu hamil 7 bulan, ada puluhan orang yang meniadakan tidur siang di hari
Sabtu, ada puluhan orang yang menunda tidur malamnya, ada ratusan mahasiswa
yang mengalihkan waktunya selama 16 jam dari belajar menjelang UTS, ada ratusan
manusia menunda makan malamnya sampai jam 00.00 SEMUA DEMI KESEMPURNAAN
KONGRES.
Kalian para calon ketua umum yang mengundurkan diri setelah visi misi,
mengapa kompak melakukan hal yang sama? mengapa tidak mengundurkan diri ketika
dipodium? mengapa kami harus menunggu kehadiran kalian dengan dinamika emosi
ternyata kalian mengundurkan diri? mengapa kalian tidak terlihat gagah dan
berwibawa dengan menyerahkan suara kalian kepada 2 orang yang tertinggal?
kenapa permainan kalian begitu mudah sekali ditebak dan merugikan banyak orang?
Oleh karena itu saya menjadi peserta penuh yang pertama kali menyatakan GOLPUT
di atas panggung persidangan. Dengan fisik lelah dan hati yang begitu perih
saya tinggalkan ruang kongress level pascasarjana IPB pada pertengahan malam
(pukul 00.00). Dengan tenaga yang tersisa saya langkahkan kaki di remang-remang
kampus yang katanya 5 besar di Indonesia ini. Diperjalanan ke kostan yang
sekitar 500 meter, saya bertemu 3 kelompok pemuda yang duduk berkumpul di luar
pagar kampus dengan dihiasi botol minuman dan cantiknya hembusan asap rokok,
disalah satu kelompok itu ada seorang perempuan berambut panjang menggunakan
hotpans hitam dan tanktop putih.
Sepuluh (10) tahun kedepan, yakinlah generasi dalam kongres ini yang akan
memimpin Indonesia. Dan malam ini saya sudah dapat melihat miniatur dinamika
politik yang akan terjadi nanti. Sukarno, seandainya engkau masih hidup saya
akan berusaha datang padamu untuk menyampaikan tulisan ini, dan inilah
potret pemuda generasi di bawah mu. Asnani
Dramaga, Bogor 27 Oktober 2013
note: tulisan ini tidak diberikan photo karena keterbatasan gadget saya
Korupsi, Pemiskinan Simiskin
Faktor-faktor produksi yang tersedia dikatakan terbatas, karena mereka harus dibayar. Misal sebuah perusahaan butuh gudang, mesin, tenaga kerja, dan bahan baku untuk menciptakan sebuah barang. Kesemua faktor produksi itu di dapat dengan membayar kepada pemiliknya baik dalam bentuk membeli atau sewa. Sementara seorang produsen memiliki prinsip dengan modal serendah-rendah nya harus mendapatkan laba setinggi-tingginya. Jika tidak, maka dia akan merugi dan ini akan berdampak pada keberlangsungan produksi barang tersebut.
Namun berdasarkan pengamatan nakal saya, teori tersebut kurang tepat untuk kondisi kehidupan kita saat ini. Pertama kepuasan manusia tidak lagi berdasarkan untuk memenuhi kebutuhan barang/jasa dalam hidupnya. Melainkan lebih dari itu, yaitu menumpuk kekayaan baik berupa uang, dokumen berharga, maupun investasi lainnya. Tentunya penumpukan harta kekayaan terjadi setelah keinginan akan barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi. Kedua faktor produksi itu tidak terbatas namun tersedia di alam semesta, dan akan mencukupi untuk kebutuhan hidup manusia. Namun sayangnya faktor produsksi ini menjadi bahan rebutan bagi manusia. Misalkan tersedia sepuluh roti untuk 5 orang. Jika hidup ini teratur dan tidak haus atas kepuasan, maka cukuplah roti tersebut untuk lima orang. Namun kenyataannya, diantara mereka ada yang puasa, ada yang baru saja olahraga keras, dan ada yang baru saja makan makanan lain. Alhasil sepuluh roti tersebut tidak terdistribusi dengan rata jumlahnya.
Kesenjangan
Apakah masalah hidup kita masih sebatas kelangkaan, atau sudah masuk dalam ruang lain yaitu kesenjangan?. Tentu saja keduanya memiliki batasan yang berbeda. Proses kesenjangan itu terjadi sejak manusia mengenal konsep kaya dan miskin. Siapa yang membuat konsep tersebut? mengapa dikatakan kaya ketika seseorang memiliki harta yang lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga kebutuhan hidup itu sendiri memiliki tingkatan yang berbeda-beda (misal kebutuhan transportasi: sepeda, motor, mobil dan pesawat). “Simiskin” berangkat ke sekolah dengan sepeda ontel dan “sikaya” pergi ke sekolah dengan mobil.
Siapa yang tidak ingin kaya? yang tidak ingin adalah mereka yang tidak mengenal konsep kaya dan miskin. Sayangnya di negara ini semua sudah diperkenalkan dengan kosep tersebut sejak dalam kandungan. Tak jarang ibu hamil mempersiapkan keperluan baby dengan sangat detail. Barang yang dipersiapkan disesuaikan dengan warna, kualitas (nyaman untuk baby), jumlah, dan tidak lupa merek yang bagus. Walaupun secara logika, kita semua tahu bahwa bayi yang masih dalam kandungan atau yang baru saja lahir belum bisa membedakan mana barang yang bagus dan mana yang tidak. Konsep nyaman diperkenalkan oleh orang tua dan keluarganya. Terkadang dalam pikiran, sudah tercipta konsep nyaman adalah jika komposisi bahan tertentu yang digunakan bahkan merek tertentu. Nah bagi para ibu hamil yang tidak memiliki uang cukup untuk memenuhi keperluan tersebut, maka dari jauh hari si ibu merasa risau dan sedih. Begitu juga ketika anak menginjak dunia sekolah, lihat saja daftar barang yang dibutuhkan untuk sekolah. Semua harus lengkap, kualitas bagus, dan tidak lupa merek terkenal. Jika standar itu tidak terpenuhi, maka merasa dirinya tidak termasuk dalam barisan orang kaya. Demikianlah keluarga mengenalkan kita konsep kaya dan miskin.
Wajar saja jika kita sangat sering mendengar orang tua mengeluh biaya pendidikan mahal. Menjadi sangat menghawatirkan jika kebutuhan akan kepuasan itu merupakan keharusan. Maka terjadilah perebutan modal di dalam masyarakat kita. Sumberdaya yang tersedia dan mencukupi kebutuhan suatu masyarakat menjadi bahan perebutan. Dalam perebutan kekayaan ini ada kelompok masyarakat yang kuat dan ada yang lemah. Bagi mereka yang kuat maka, orang kaya akan menjadi gelarnya. Namun bagi mereka yang lemah orang miskin menjadi gelarnya. Hadirlah kesenjangan diantara mereka, yang sebenarnya "sikaya" telah memiskinkan "simiskin". Namun kenyataan ini dianggap sebuah kompetisi yang lumbrah dalam kehidupan masyarakat kita. Yang berhasil merebut kekayaan ini lebih banyak dianggap suatu kesuksesan hidup, dikarenakan dalam prosesnya terdapat usaha.
Demi gelar kaya, "sikaya" melakukan apa saja untuk mencapai hasratnya melalui media yang dia miliki yaitu kekuasaan. Terjadilah kasus korupsi dan suap menyuap yang saya namakan "sikaya" memiskinkan "simiskin". Tidak asing bagi kita mendengar pejabat negara ini korupsi dan suap menyuap dengan jumlah milyaran rupiah. Pertanyaan yang mendasar: "untuk apa uang sebanyak itu?" padahal jasanya sebagai pejabat sudah dibayar oleh rakyat, bahkan tunjangannya lebih besar daripada gaji pokok. Apakah itu tidak cukup untuk menghidupi keluarganya? jawabnya hanya untuk agar dia mendapatkan gelar "kaya" padahal saat itu juga terjadi pemiskinan pihak lain.
Katanya pajak untuk rakyat. Kenyataannya banyak juga pihak yang tidak sepakat dengan konsep tersebut. Banyak juga tunggakan pajak para pengusaha tidak dibayarkan. Jikapun ada yang terbayarkan, bagaimanakah alurnya sampai ke masyarakat? apakah lancar-lancar saja? atau kita dapat memaklumi bahwa dana tersebut mesti mampir ke beberapa meja terlebih dahulu untuk membuat kaya pemilik meja hingga hanya sekedar tetesannya yang jatuh kepada masyarakat. Ini juga saya katakan proses pemiskinan, yang dapat dilakukan oleh siapapun terutama mereka yang berada dikursi kekuasaan. Seperti yang sedang menjadi perbincangan saat ini yaitu kasus ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia beserta timnya. Dimana lembaga hukum ini berani digadaikan demi gelar kaya.
Kost Putri Dinar, 22 Oktober 2013
Melewati Tembok Berlin
Selamat berpelesir ke Tembok Berlin***
Semesta Membacakan Ukiran Mimpiku
negara tercinta ku
diantara cantiknya wajah semesta dunia.
Pada 24 Oktober akhirnya saya diproklamasikan kepada seluruh yang hadir di gedung Graha Shaba Permana Universitas terutama kepada kedua orang tua dan saudara dari Lampung bahwa saya lulus dan mendapatkan ijasah dengan gelar Master of Art (MA). Saya sudah membuktikan kepada keluarga bahwa perjalanan saya untuk menuntut ilmu adalah benar. Setidaknya spirit untuk memberikan contoh kepada Tujuh orang adik saya bahwa pendidikan itu mudah akhirnya terlaksana.
Di luar itu, saya juga bergabung dengan WATALA (Keluarga Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup). Saya kembali belajar pada kakak senior di WATALA dalam program empowering di kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat dengan isu hutan adat. Kemudian kegiatan capasity building program API Perubahan dengan isu adaptasi perubahan iklim untuk ketahanan. Sangat membahagiakan ketika belajar itu sesuai dengan passion kita. Berdiskusi dengan komunitas petani, belajar kelompok dalam training, bahkan makan bersama tim dipinggir jalan.
Begitu besar nominal uang rakyat yang diamanahkan kepada saya. Sebagai konsekuensi logis dari amanah itu, saya terikat kontrak bersama Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan (Dikti) bahwa saya harus mengabdi sekurang-kurangnya n+1 (Tiga Tahun masa studi ditambah 1 tahun) di salah satu universitas yang telah saya pilih diantara 35 universitas yang ditawarkan oleh Dikti. Saya memilih Institu Teknologi Sumatera (Itera) yang sekarang sedang di bangun di Kota Baru Lampung Selatan.
Pertama karena program studi yang saya ambil (Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan) sesuai dengan salah satu program studi yang ada di Itera. Kedua, saya ingin ambil bagian sebagai putra daerah yang ingin membangun daerahnya, karena kampus ini baru tentu akan memiliki dinamika yang berbeda ketika bergabung dengan universitas yang sudah lebih lama berdiri. Ketiga, dari sisi pragmatis berdekatan dengan orang tua dan adik-adik tercinta, inilah harapan mereka bahwa saya sebagai anak tertua dalam keluarga lebih baik jika berada dekat dengan mereka.
Inilah yang saya maksud bahwa semesta mulai membacakan ukiran mimpi lama. Tidak ada salahnya jika saya tuliskan kembali motto hidup saya "HIDUP ADALAH KEYAKINAN".
Bukan Tamu Tengah Malam
Keesokan harinya saya berharap ada informasi dari penghuni kost, siapakah yang membuka gerbang tengah malam sehingga lonceng berbunyi. Namun harapan saya pupus karena tak seorangpun yang bercerita dan sayapun tidak bertanya. Ya sudahlah, alhamdulillah tidak terjadi apa-apa (saya bergumam dalam hati). Kemudian saya melanjutkan aktivitas seperti hari sebelumnya, berangkat ke kampus dan kembali lagi ke kostan.
Seorang teman (Adis) berkata: "iya, aku denger ada yang buka gerbang tengah malam". Dalam hati saya (berati bukan saya sendiri yang merasa takut dalam dua malam ini). Namun tiba-tiba ada teman lain (Welly) berkata: "Ohhhh, itu mah kucing....dia sering masuk atau keluar kost dengan lompat lewat lubang gerbang, sehingga loncengnya berbunyi".
setelah Welly menjelaskan logika itu, serentak rasa takut dan penasaran saya hilang. Ternyata hanya seekor kucing...Huuuuuuuuuh