Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Configure your calendar archive widget - Edit archive widget - Flat List - Newest first - Choose any Month/Year Format

Tamu Wisuda dan Harapan Wisuda



Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagi senior-senior di jurusan Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) IPB karena  akhirnya mereka sampai pada tahap akhir sebuah perjalanan program pendidikan doktor yaitu wisuda. Terlihat kebahagiaan itu ketika 4 orang Doktor itu memberikan sambutan satu-persatu di hadapan para dosen, mahasiswa PWD dan tentunya keluarga besar masing-masing mereka yang hadir.

Hadir dan mendengarkan sambutan satu persatu dari para wisudawan adalah keuntungan bagi saya. Untaian kata yang mengalir dari ke-empat orang itu menceritakan suka duka perjalanan mereka selama 5 tahun. Yah sejak tahun 2008 mereka bertemu dan belajar merajut asa yang sama di tempat yang sama. Dosen-dosen yang hadir mengakui bahwa senior-senior ini memiliki social capital yang sangat tinggi. Mereka kompak dan tidak pernah komplain ketika diajak praktek lapangan kemanapun oleh dosen yang bersangkutan.

Dalam sambutan mereka menyampaikan bahwa dengan adanya social capital yang kuat diantara mereka, berdampak positif bahwa mereka tidak yakin jika mereka tidak lulus. Kekompakan dan kebersamaan yang terjadi diantara mereka adalah selalu melakukan diskusi kelompok, bahkan iuran untuk kepentingan belajar. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa tempat belajar bukan hanya di kampus, akan tetapi di cafe maupun warung pojok. Satu diantara mereka adalah seorang Ibu, dia bercerita ketika menjelang Ujian Kualifikasi (Prelim), beliau melahirkan. Dengan senang hati teman-temannya yang lain datang dan belajar di rumah Ibu tersebut. Bangga dan bahagia mendengarkan kekompakan seperti itu.

Dalam sesi photo bersama, sebuah do'a saya panjatkan penuh harap agar saya dan teman-teman 2013 mendapatkan kesempatan yang sama seperti mereka. Yah berharap wisuda bersama-sama namun sedikit dipercepat, supaya jangan sampai hitungan 5 tahun. Jika 3 tahun terlalu cepat, yah 4 tahun saja saya sudah bersyukur. Karena saya belum mendapat informasi ada senior di jurusan ini yang mampu menyelesaikan studinya dalam hitungan 4 tahun. Cukup menantang juga :-)

Jauh dari keluarga, menikmati rutinitas perkulihan, tertawa bersama saat mengerjakan tugas-tugas dan pusing tujuh keliling saat memahami cacing-cacing adalah aroma yang ada di perjalanan ini. Semoga sehat selalu dan mampu menyelesaikan amanah ini dengan baik.


Kata Kunci: Kompak

Dramaga, Bogor 20 Nov 2013:17.24







  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

"Gila" Kata Siapa?

Hampir setiap sore kota Bogor hujan, mungkin itulah banyak orang menyebutnya sebagai kota hujan. Sore itu sekitar pukul 17.00 sepulang dari kampus, saya mampir di sebuah toko buah. Saat sedang memperhatikan dan memilih buah yang akan dibeli, tiba-tiba perhatian saya beralih kepada seorang perempuan (kira-kira berumur 40 tahunan). Saya pikir dia akan membeli buah juga, dengan gayanya memegang beberapa buah kiwi. Namun, seorang pelayan dengan nama seperti mengusir ayam (hus...hus...hus) dan mendekati perempuan itu kemudian melarang untuk menyentuh buah-buah tersebut. Akhirnya perempuan itu pergi tanpa membeli dan membawa satu buahpun.

Seperti halnya saya yang mampir dan membeli buah, itu karena ingin memakannya. Perempuan itu tadi pasti punya harapan yang sama, yaitu ingin makan buah. Sebenarnya apa yang membedakan saya dan perempuan itu? mungkin kah gaya rambut? tentu berbeda, dia mempunyai potongan rambut pendek seperti laki-laki sementara saya memakai jilbab. Mungkinkah pakaian kami berbeda? tentuntu berbeda, saya memakai kemaja lengan panjang dan celana dasar panjang, sementara dia memakai baju kaos oblong dan celana hawai dibawah lutut. Hal yang berbeda lainnya adalah dimulutnya ada sebatang rokok yang belum dinyalakan, sementara saya tidak merokok.

Sebenarnya tidak ada yang aneh dari penampilan perempuan itu, seperti kebanyakan perempuan lainnya. Ada satu hal yang baru saya tahu bahwa perempuan itu "gila". pelayan tadi mengusirnya karena khawatir mengganggu.

Dua hari berlalu...

Pagi hari ketika saya akan berangkat ke kampus, melewati jalan biasanyanya (Jl. Raya Dramaga). Dari kejauhan saya melihat perempuan yang pernah saya lihat di toko buah dua hari yang lalu. Yah, saya mengenal raut wajahnya. Ciri khas yang sama yaitu sebatang rokong yang belum dihidupkan ada di antara bibirnya. Sembari terus berjalan, terus saya perhatikan olah tingkahnya. Dia hanya duduk di sudut halaman toko yang belum dibuka oleh pemiliknya. Dalam hati saya berkata "mungkin benar perempuan itu gila".

Tiba-tiba dari arah yang sama di seberang sana ada seorang laki-laki yang berjalan mendekati perempuan tersebut. Laki-laki menggunakan baju kaos oblong warna hitam lusuh, dan beberapa bagiannya sudah sobek. Begitupun dengan celana panjang coklat yang dia gunakan, kanan-kirinya cobek dan kotor. Rambutnya yang panjang terikat menggumpal. Laki-laki itu menjinjing 3 pelastik hitam yang lumayan besar yang tidak tahu isinya apa. Kakinya tanpa alas, terus melangkah mendekati perempuan tadi.

Sementara saya berjalan semakin dekat dan dekat dengan mereka namun kami berseberangan. Saya melihat perempuan itu menegur laki-laki tersebut, namun laki-laki itu hanya diam. Kemudian perempuan itu menegur lagi, namun tetap laki-laki itu diam. Perempuan itu lalu mengambil sebatang rokok dari mulutnya kemudain menjulurkan (memberikan) kepada laki-laki itu.

Dari seberang jalan saya berdiri memperhatikan mereka dan bertanya dalam hati (Apakah mereka saling kenal?, sepertinya tidak). Sayang sekali saya tidak pegang kamera, dan hand phone pun tidak bisa mendokumentasikan kejadian itu. Perempuan yang masih terduduk itu memberikan rokoknya, sementara laki-laki itu mendekat dan menunduk ke arah perempuan itu. Wah saya ingin tahu sebenarnya apa yang sedang meraka ucapkan/kamunikasikan.

Namun karena saya harus segara sampai di kampus, saya tinggalkan pemandangan itu. Sepanjang jalan saya masih saja memikirkan olah tingkah mereka berdua yang membuat saya penasaran. Sampai-sampai saya harus mengakui bahwa mereka "tidak gila" sebagaimana yang dilabelkan oleh orang-orang yang melihatnya. Yah mereka tidakgila, mereka bisa berkomunikasi dengan baik. Mereka mempunyai hati yang baik antara satu dan lainnya.

Seandainya saya seorang perempuan yang merokok, dan tak seorangpun yang mengatakan/melabelkan kepada saya "gila". Apakah saya akan memberikan sebatang rokok yang saya punya kepada teman saya? belum tentu. Sementara perempuan itu, yang dianggap gila namun ia mau memberikan sebatang rokoknya kepada laki-laki yang dianggap gila.

Oh tidak, ini adalah sebuah kesalahan. Sungguh menghawatirkan, jangan-jangan orang sehat yang mengatakan orang lain gila itu adalah dia yang sedang gila. Kesehatan, kebersihan, kerapihan, kelincahan berbahasa, kecerdikan berpikir justru menganggap orang yang kumuh, kotor, dekil, pakai baju sobek sana-sobek sini, rambut panjang meringkal tak terurus, bau, adalah gila . Dalam penampilan yang gila, mereka mempunyai hati yang sehat.

Jika mereka memilih jalan sebagai rumah mereka, berjalan sepanjang hari. Tidur di jalan, meminta makanan dari warung ke warung, atau mengais sampah mencari makan. Itu semua bukan berarti mereka gila. Ternyata mereka memiliki hati yang tulus, terhadap sesama mereka. Mereka mampu berkomunikasi dua arah, layaknya kita.

Siapkah yang pertama kali melabelkan "gila" kepada orang-orang gila?. Saya jadi teringat kepada seorang perempuan gila di sekitar pasar Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara. Semenjak saya SD sampai sekarang perempuan itu terkenal dengan sebuatan nama "Minul Gila". Kesehariannya hanya duduk di pinggiran jalan, dengan menggunakan sarung dan kaos oblong yang lusuh dan kotor. Rambutnya yang panjang dan tebal nampak seperti sanggul karena kotor tidak pernah dicuci. Namun ironisnya, si Minul juga hamil. Siapakah orang yang menghamili Minul? ternyata dia adalah orang sehat fisiknya tapi lebih-lebih gila jiwanya. Masih banyak lagi orang-orang sehat di dunia ini yang memiliki hati dan jiwa yang gila, namun sayangnya dia tidak menyadari kegilaanya.

Dramaga Bogor, 12:28






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jangan Putus Sekolah ya Sayang

Dialah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 7 tahun harus putus sekolah. Muhammad Riski Ramadan adalah anak dari seorang buruh tani bernama Mayunis dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Sudah sering kali mendengar berita anak-anak putus sekolah lantaran ketidakmampuan orang tuanya membiayayi sekolah anaknya. Apalagi di daerah-daerah yang mayoritas pendapatan hanya sebagai buruh tani.

Ada yang lain dari kebanyakan kasus putus sekolah yag dialami oleh Riski. Berita yang diterbitkan oleh Oke Zone ini (lengkapnya klik disini), menggelitik hati saya untuk menyampaikan sesuatu dalam tulisan ini. Dengan hasil yang pas-pasan sebenarnya pak Mayunis masih mampu menyekolahkan anaknya, setidaknya sampai selesai Sekolah SD. Namun yang menjadi persoalan adalah Riski putus sekolah lantaran karena tingkat kecerdasannya yang melebihi teman-teman seusianya. Bahkan bisa dikatakan mengalahkan usia 20 tahun kebanyakan anak Indonesia. Riski sudah menguasai beberapa bahasa asing (Inggris, India, Mandarin dan Malaysia) diusia belianya. Maaf, saya saja tidak secerdas Riski.

Kelebihan yang dimiliki Riski justru menjauhkan dirinya dari dunia kanak-kanaknya. Sebagaimana kita ketahui usia Sekolah Dasar adalah masa dimana anak-anak memupuk kecerdasan sosialnya melalui interaksi dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dan menjalin komunikasi yang sehat kepada usia yang lebih tua darinya yaitu guru-guru di lingkungan sekolah. Namun Riski hanya 6 bulan sekolah di SD Negeri Cangkiang. Karena karakter Riski yang tidak mau belajar dengan sistem yang mengulang-ngulang, sehingga membuat dia tidak nyaman dikelas. Keadaan ini dinilai mengganggu proses belajar mengajar siswa-siswi yang lain oleh gurunya. Sehingga Riski dikeluarkan dari sekolahnya dan disarankan untuk sekolah khusus oleh gurunya.


Tidak ada yang salah dengan tindakan pihak sekolah tersebut, karena itu merupakan tindakan jangka pendek dan bersifat makro demi siswa-siswi yang lain. Menurut saya, seandainya anak-anak di tanah air ini seperti Riski justru akan sangat membantu kerja-kerja para guru SD. Tidak lagi kita temui guru berteriak-teriak memanggil muridnya yang malas belajar dan justru hanya ingin bermain saja. Tidak ada lagi guru yang kesal karena muridnya belum memahami apa yang disampaikan, padahal sudah berulang kali. Dan tidak akan ada lagi kasus guru dilaporkan ke kepolisian oleh orangtua muridnya dikarenakan mencubit muridnya yang nakal (kasus di Kabupaten Waykanan-Lampung, lihat disini). Ditingkat yang lebih makro, para perencana pendidikan Indonesia ini tidak perlu lagi mengganti kurikulum disetiap musimnya.

Riski adalah salah satu mutiara yang ada di Indonesia, namun kenapa karena kelangkaannya justru dianggap sebagai kendala bagi mayoritas?. Ada baiknya sebagai pihak sekolah guru dan kepala sekolah yang lebih dekat dengan Riski (bersama orang tua tentunya) mengkomunikasikan keadaan ini kepada Dinas Pendidikan setempat untuk memberikan alternatif belajar di sekolah bagi seorang Riski. Bersamaan dengan itu pula, komunikasi dapat ditingkatkan kepada stakeholder pendidikan yang lebih luas (provinsi atau bahkan negara) agar kasus serupa yang terulang di waktu dan tempat yang berbeda menjadi perhatian yang bijak.

Jangan katakan bahwa ini sulit karena sistem pendidikan kita memang tidak mengatur kelangkaan kecerdasan seperti yang dialami Riski !. Dan jangan katakan pula tidak ada alokasi dana untuk membuat seorang generasi bangsa seperti Riski untuk dapat terus belajar!.

Sudah selayaknya Riski dan mutiara bangsa lainnya mendapat haknya dengan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Jika memang dibutuhkan seorang ahli pendidikan khusus untuk perkembangan akademik Riski, mengapa tidak? Negara bisa membayar ahli pendidikan tersebut. Namun menjadi catatan adalah kecerdasan sosial Riski pun adalah suatu hal penting, yaitu lingkungan pertemanannya.  Agar Riski dapat menjadi pemimpin yang tidak hanya cerdas dalam ilmu pengetahuan namun bijak terhadap lingkungan disekitarnya. (Asnani)

Dramaga, Bogor 08-11-2013


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS