Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Configure your calendar archive widget - Edit archive widget - Flat List - Newest first - Choose any Month/Year Format

Korupsi, Pemiskinan Simiskin




Kelangkaan
Beberapa buku ekonomi dasar terdokumentasi bahwa masalah ekonomi itu adalah kelangkaan (scarcity). Dari beberapa referensi ekonomi berikut (Sadono sukirno, Walter Nicholson dan Olivier Blanchard) mengatakan kelangkaan itu disebabkan tidak seimbangnya antara keinginan/hasrat manusia akan kebutuhan barang dan jasa, sementara ketersediaan barang dan jasa itu terbatas. Kepuasan manusia tidak terbatas, seperti analogi pada sebuah iklan coklat dengan slogannya "lagi-lagi dan lagi". Hal ini bermakna bahwa coklat itu enak, tentu saja membuat hasrat penikmatnya bertambah, oleh karena itu mereka akan terangsang untuk menambah coklat tersebut. Itulah kepuasan manusia, tidak akan habis keinginannya sampai dia mati. Bahkan (maaf) ada sebagian orang, sebelum matipun masih sempat memikirkan/mengatur harta kekayaannya. Tujuannya agar ia dapat meninggalkan dunia dengan tenang (bagian dari kepuasan). Sampai saat ini belum ada formula untuk membatasi kepuasan manusia.

Faktor-faktor produksi yang tersedia dikatakan terbatas, karena mereka harus dibayar. Misal sebuah perusahaan butuh gudang, mesin, tenaga kerja, dan bahan baku untuk menciptakan sebuah barang. Kesemua faktor produksi itu di dapat dengan membayar kepada pemiliknya baik dalam bentuk membeli atau sewa. Sementara seorang produsen memiliki prinsip dengan modal serendah-rendah nya harus mendapatkan laba setinggi-tingginya. Jika tidak, maka dia akan merugi dan ini akan berdampak pada keberlangsungan produksi barang tersebut.

Namun berdasarkan pengamatan nakal saya, teori tersebut kurang tepat untuk kondisi kehidupan kita saat ini. Pertama kepuasan manusia tidak lagi berdasarkan untuk memenuhi kebutuhan barang/jasa dalam hidupnya. Melainkan lebih dari itu, yaitu menumpuk kekayaan baik berupa uang, dokumen berharga, maupun investasi lainnya. Tentunya penumpukan harta kekayaan terjadi setelah keinginan akan barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi. Kedua faktor produksi itu tidak terbatas  namun tersedia di alam semesta, dan akan mencukupi untuk kebutuhan hidup manusia. Namun sayangnya faktor produsksi ini menjadi bahan rebutan bagi manusia. Misalkan tersedia sepuluh roti untuk 5 orang. Jika hidup ini teratur dan tidak haus atas kepuasan, maka cukuplah roti tersebut untuk lima orang. Namun kenyataannya, diantara mereka ada yang puasa, ada yang baru saja olahraga keras, dan ada yang baru saja makan makanan lain. Alhasil sepuluh roti tersebut tidak terdistribusi dengan rata jumlahnya.

Kesenjangan

Apakah masalah hidup kita masih sebatas kelangkaan, atau sudah masuk dalam ruang lain yaitu kesenjangan?. Tentu saja keduanya memiliki batasan yang berbeda. Proses kesenjangan itu terjadi sejak manusia mengenal konsep kaya dan miskin. Siapa yang membuat konsep tersebut? mengapa dikatakan kaya ketika seseorang memiliki harta yang lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga kebutuhan hidup itu sendiri memiliki tingkatan yang berbeda-beda (misal kebutuhan transportasi: sepeda, motor, mobil dan pesawat). “Simiskin” berangkat ke sekolah dengan sepeda ontel dan “sikaya” pergi ke sekolah dengan mobil.

Siapa yang tidak ingin kaya? yang tidak ingin adalah mereka yang tidak mengenal konsep kaya dan miskin. Sayangnya di negara ini semua sudah diperkenalkan dengan kosep tersebut  sejak dalam kandungan. Tak jarang ibu hamil  mempersiapkan keperluan baby dengan sangat detail. Barang yang dipersiapkan disesuaikan dengan warna, kualitas (nyaman untuk baby), jumlah, dan tidak lupa merek yang bagus. Walaupun secara logika, kita semua tahu bahwa bayi yang masih dalam kandungan atau yang baru saja lahir belum bisa membedakan mana barang yang bagus dan mana yang tidak. Konsep nyaman diperkenalkan oleh orang tua dan keluarganya. Terkadang dalam pikiran, sudah tercipta konsep nyaman adalah jika komposisi bahan tertentu yang digunakan bahkan merek tertentu. Nah bagi para ibu hamil yang tidak memiliki uang cukup untuk memenuhi keperluan tersebut, maka dari jauh hari si ibu merasa risau dan sedih. Begitu juga ketika anak menginjak dunia sekolah, lihat saja daftar barang yang dibutuhkan untuk sekolah. Semua harus lengkap, kualitas bagus, dan tidak lupa merek terkenal. Jika standar itu tidak terpenuhi, maka merasa dirinya tidak termasuk dalam barisan orang kaya. Demikianlah keluarga mengenalkan kita konsep kaya dan miskin. 

Wajar saja jika kita sangat sering mendengar orang tua mengeluh biaya pendidikan mahal. Menjadi sangat menghawatirkan jika kebutuhan akan kepuasan itu merupakan keharusan. Maka terjadilah perebutan modal di dalam masyarakat kita. Sumberdaya yang tersedia dan mencukupi kebutuhan suatu masyarakat menjadi bahan perebutan. Dalam perebutan kekayaan ini ada kelompok masyarakat yang kuat dan ada yang lemah. Bagi mereka yang kuat maka, orang kaya akan menjadi gelarnya. Namun bagi mereka yang lemah orang miskin menjadi gelarnya. Hadirlah kesenjangan diantara mereka, yang sebenarnya "sikaya" telah memiskinkan "simiskin". Namun kenyataan ini dianggap sebuah kompetisi yang lumbrah dalam kehidupan masyarakat kita. Yang berhasil merebut kekayaan ini lebih banyak dianggap suatu kesuksesan hidup, dikarenakan dalam prosesnya terdapat usaha.  

Demi gelar kaya, "sikaya" melakukan apa saja untuk mencapai hasratnya melalui media yang dia miliki yaitu kekuasaan. Terjadilah kasus korupsi dan suap menyuap yang saya namakan "sikaya" memiskinkan "simiskin". Tidak asing bagi kita mendengar pejabat negara ini korupsi dan suap menyuap dengan jumlah milyaran rupiah. Pertanyaan yang mendasar: "untuk apa uang sebanyak itu?" padahal jasanya sebagai pejabat sudah dibayar oleh rakyat, bahkan tunjangannya lebih besar daripada gaji pokok. Apakah itu tidak cukup untuk menghidupi keluarganya? jawabnya hanya untuk agar dia mendapatkan gelar "kaya" padahal saat itu juga terjadi pemiskinan pihak lain.

Katanya pajak untuk rakyat. Kenyataannya banyak juga pihak yang tidak sepakat dengan konsep tersebut. Banyak juga tunggakan pajak para pengusaha tidak dibayarkan. Jikapun ada yang terbayarkan, bagaimanakah alurnya sampai ke masyarakat? apakah lancar-lancar saja? atau kita dapat memaklumi bahwa dana tersebut mesti mampir ke beberapa meja terlebih dahulu untuk membuat kaya pemilik meja hingga hanya sekedar tetesannya yang jatuh kepada masyarakat. Ini juga saya katakan proses pemiskinan, yang dapat dilakukan oleh siapapun terutama mereka yang berada dikursi kekuasaan. Seperti yang sedang menjadi perbincangan saat ini yaitu kasus ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia beserta timnya. Dimana lembaga hukum ini berani digadaikan demi gelar kaya. 

Asnani,
Kost Putri Dinar, 22 Oktober 2013

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar