Bagi kebanyakan
teman saya malam Minggu adalah malam special untuk jalan-jalan, tapi menurut saya
tidak juga. So, setelah segar dari mandi kemudian sholat Maghrib, saya duduk di
depan TV yang tak seorangpun ada disana, tapi itu gak masalah buat saya. Seperti
biasa, kalau nonton TV pasti remotenya ga bisa diam, pindah dari channel satu ke channel yang lain. Terkadang cari program yang mendidik bagi saya
agak sulit sekarang. Setelah 15 menit lihat TV sambil duduk termangu sendiri,
tiba-tiba mata saya fokus melihat ke sebuah stasiun TV dan otak saya langsung
memerintahkan tangan untuk tidak memindahkan ke channel yang lain.
Yah inilah
program yang buat saya menghabiskan waktu menontonnya sampai selesai. Program yang
berjudul “pengabdian” di Trans TV. Pada
malam ini, tanggal 18 Mei 2012 program ini meliput seorang Sarjana Keperawatan
(Kristiawan) dan Video Jurnalistik (April) di pedalaman suku Jambi “Suku anak
Rimba”. Suku Anak Rimba sudah ratusan tahun tinggal di Bukit 12, mereka juga
terkenal dengan sebutan suku “Kubu”. Saya jadi teringat dengan kata dalam
bahasa Lampung “ngubuan” yaitu pengasingan di ladang/kebun. Sama dengan suku
Kubu di pedalaman Jambi ini bahwa makna dari Kubu adalah kumuh, kotor dan tidak
berpendidikan.
Usia 6
tahun anak Rimba ini memang sudah diajarkan untuk Mandiri (makan, dan mengurus
keberlangsungan hidupnya sendiri) di hutan, sementara orang tua biasanya sibuk
dengan aktivitas berburu di hutan. Saat liputan itu ada seorang anak suku rimba
yang sedang duduk memangku temannya yang sedang sakit demam. Dalam keadaan
sakitpun orang tua mereka tidak tahu. dan biasanya mereka menggunakan obat
tradisional disekitar mereka sebagai obat dan mereka lebih percaya kepada dukun.
Misalnya jika mereka terkena Diare, mereka cukup berobat dengan akar kayu.
Dengan ditemani
sepiring tempe goreng hangat saya tetap melewati iklan demi iklan pada program
ini, dan menuliskan beberapa point of
view dari alur tontonan ini di buku
catatan aktivitas saya. Yokkkk kita lihat lagi....
Kristiawan
yang telah 3 tahun bekerja di pedalaman itu senantiasa membantu dengan
memperkenalkan obat medis kepada mereka, tentunya itu tidak mudah. Jangankan menerima pelayanan kesehatan dari orang
asing, bertemu saja sulit, bahkan mereka
takut dan lari ketika melihat kedatangan April yang baru pertama kali mereka
lihat. Namun pengalaman Kris yang telah 3 tahun disana dan mengusai bahasa anak
rimba mampu menjadi fasilitator diantara April dan anak Rimba. Kemudian Kris
mengenalkan April kepada mentilah
yaitu orang yang dianggap sebagai penghubung orang asing dan orang dalam. Dengan
izin kepada mentilah Kris dan April
dapat ngobrol dengan warga suku Rimba termasuk dengan kelompok anak-anak.
Menurut pengalaman
Kris, obat-obat medis dianggap tabu oleh masyarakat sana. Penyakit yang sering
diderita adalah kurang gizi dengan tanda-tanda perut buncit dan badan kurus
pada anak-anak. Ini disebabkan karena mereka tidak makan ayam, sapi dan telur
ayam. Sebagai lauk makan mereka hanya memanfaatkan ikan dari sungai dan hewan
hutan seperti babi dan sejenisnya dari hasil
berburu. Anak-anak suku rimba terbiasa dengan hujan dan terik panas di sekitar
hutan, dengan ciri khas mereka hanya menggunakan cawot (pakaian mereka) sejenis kain yang dililitkan di
pinggang-selangkangan untuk menutupi kemaluan. Sebagai rumah dan tempat tinggal
mereka adalah cecunggongan/bilik
kayu.
Peradapan
suku ini berkurang dengan semakin luasnya areal perkebunan Karet dan Kelapa
Sawit, sehingga mereka harus mengungsi kebukit-bukit. Adapula mereka yang tetap
bertahan di dalam perkebunan dengan mendirikan tenda-tenda yang sangat
sederhana dan sungguh tidak layak bagai kehidupan manusia yang dianggap mulia. Sehingga
mereka teralienasi di temapt mereka sendiri, mereka kehilangan tanah di tanah
kelahiran mereka sendiri. Mereka miskin diantara kekayaan mereka yang dinikmati
oleh para pemilik perkebunan. Lumbung makanan dengan aktivitas berburu semakin
hari semakin berkurang bahkan nyaris hilang, kerena hutan sebagai habitat hewan
buruan semakin berkurang dan tergantikan dengan perkebunan yang disulap oleh
jahatnya tangan-tangan manusia yang sebenarnya adalah saudara mereka sendiri. Mereka
terpaksa mengasingkan diri unruk menyelamatkan dan melestarikan budaya mereka.
Untuk melawan
kekuatan yang mengancam, mereka memiliki kemampuan bersilat sebagai seni budaya dari tanah kelahiran yang disebut
dengan tanah pran on. Kemudian tradisi
menumpuk harta bagi masyarakat ini adalah dengan mengumpulkan kain. Kain dapat
dibeli di pasar mingguan yang buka setiap hari Selasa dengan metode barter. Mereka
juga membeli bahan makanan di pasar. Perubahan semakin nampak dengan makin
banyaknya transmigran ke daerah mereka. Apalagi setelah mereka pindah dari
rimba, berbagai penyakit menghampiri mereka.
Contohnya saja, perempuan sudah mengenal rokok dari pendatang. Saat itu
terlihat seorang wanita muda yang sedang hamil menikmati rokoknya. Padahal perilaku
tersebut tidak ada sebelum perluasan daerah mereka menjadi perkebunan.
Ada
kelompok tumenggung yang lebih
terbuka dengan kesehatan, melalui puskesmas
dengan berjalan kaki selama 5 jam. Syukurnya saat ini Kris sudah diterima baik
oleh suku itu, April sendiri mengakui bahwa butuh hati dan kesabaran untuk
bekerja di pedalaman tersebut. Diakhir acara tersebut, ada seorang anak yang
ingin mendekati Kris dan April yang sedang menikmati jajanan modern (sejenis
ciki). Mereka pikir anak rimba itu mau makan, ternyata setelah ditanya oleh
Kris, anak tersebut ingin memegang Kamera DLSR yang menggantung di leher April.
Luar biasa, anak rimba memiliki keinginan yang besar.
Dari hasil
tontonan saya diatas, yang perlu saya diskusikan adalah manusia yang saat ini
masih dianggap paling mulia dari makhluk hidup yang lainnya ternyata menjadi
pemakan bangkai saudaranya sendiri. Pemilik perkebunan karet dan kelapa sawit
telah merampas kehidupan mereka di rimba yang merupakan istana bagi para suku
rimba. Dengan semakin luasnya area perkebunan, memang benar telah meningkatkan
peluang bekerja sebagai buruh kebun yang didatangkan dari berbagai daerah Jawa
dan sekitarnya. prilaku pendatang yang telah mencemari kesakralan hidup mereka,
menjadi lunturnya budaya yang mereka punya. Termasuk penyakit pernafasan yang
diderita karena perkenalan mereka kepada rokok.
Kalau sudah begini siapakah yanga harus bertanggung jawab??? Bersyukur ada
pemuda yang kaya hati seperti Kris untuk mengabdi disana. Tapi itu saja tidak
cukup, butuh dana dan waktu yang panjang untuk mengembalikan kehidupan suku
rimba seperti semula, baik dari segi ekology maupun social life suku rimba. @Asnani Azzasharma
Pesan
buat Kris: Kris, pilihan sebagai pekerja sosial adalah pilihan
yangberani, salut untuk kamu. Tapi kalau boleh saya kasih saran, seandainya ada
tamu yang datang ke sana membawakan makan-makanan yang modern. Mohon jangan
dilihat oleh anak-anak disana. Biarkan mereka sehat dengan makanan mereka
sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar